Obrolan Akhir Pekan Bersama Papa Folk N Roll, Jason Ranti

Oleh: welly - 21 Mar 2018

Berawal dari menulis tentang kegelisahan dan keresahan akan kehidupan sehari-hari, musisi satu ini menolak patuh pada gaya bahasa yang kaya akan metafora manis dan bahasa asing. Mengangkat tema “tidak biasa” di setiap lagunya, lirik satir bernada komdei keluar seirama bersamaan dengan gitar akustik bertempo naik turun. Di satu kesempatan, sambil memangku anaknya dibarengi wajah cukup lelah seusai mengisi stage di Music Gallery beberapa waktu lalu, Istilah Papa Folk n Roll pun saya sematkan pada Jason Ranti atau biasa disapa Jeje yang tetap senang hati berbagi waktu dan cerita bersama CreativeDisc.

CD : Dalam lagu Stephanie Anak Senie, terdapat isu-isu perempuan, apa jeje membuat lagu itu dikarenakan isu feminis sedang naik kepermukaaan?

Jeje : Nggak, nggak karena itu, kadang-kadang gue merasa, gue itu perempuan sebenernya (tertawa), kayak, gue gak terlalu maskulin gitu. Setiap orang juga begitu kan? Maksudnya, cewek ada maskulinnya kan, cowok ada sisi feminin, tapi gue kayaknya lebih feminin deh, tapi gak melambai gitu, cuma gampang baper.

CD : Gimana pendapat Jeje mengenai banyak isu-isu “aneh” yang naik, mengingat tahun politik sudah mulai masuk?

Jeje: Itu isu yang digoreng elit untuk memperebutkan kekuasaan, yang kasihan raykat yang di bawah jadi korban demi kepentingan.

CD : Dalam proses bikin lagu, adakah buku yang dibaca terlebih dahulu atau ada yang lain?

Jeje : Yang gue tulis itu permasalahan hidup gue, dan kebetulan relate sama orang lain. Misal kebangkitan PKI, itu bikin orang gak nyaman kan? Gue juga gak nyaman.

CD : Adakah kekhawatiran terhadap lagu dan lirik yang sensitif?

Jeje : Jadi emang gue suka mengungkapkan pendapat gue, caranya gimana? Ya gue cuma bisa main gitar, ya awalnya sesederhana itu. tapi kan kalau ada orang yang gak suka atau apa, itu udah hukum alam kan ya? Ya intinya gue pengen berpendapat aja, apa yang dipikirin, karena bisanya main gitar ya gitu.

CD : Melihat anak muda yang apresisasi musik Jeje dan “menyentuh” banyak pendengar sampe bisa bikin melek lingkungan itu bagaimana?

Jeje: Senang dong, kalau ada yang apresiasi, senang. Gue juga masih belajar. Semakin gue sering manggung dan sering jauh berjalan, semakin merasa bego. Hahaha! Jadi kalau di rumah, gue merasa pinter, dunia di genggaman. Kalau udah keluar, eh anjir gue gak tau apa-apa ya gitu. Kalah banyak, gue ngelihat, pas jalan ke kota (lain), wah ini mah kalo misal ngomong musik, ini orang mah bakatnya gila, gue mah kalah, atau lebih cerdas, banyak ketemu orang yang ternyata lebih hebat. Mungkin istilah kurang piknik itu bener, jadi mudah menghakimi orang lain, liat yang beda dikit ama dia gak terima, jadi semakin gue jauh berjalan, gue sebenernya gak ada apa-apa rasanya gitu. Dan sebenernya pengen buka ruang diskusi melalui apa yang gue lakukan.

CD: Setelah beberapa waktu lalu di salah satu kampus sempat diberhentikan saat manggung, lalu pindah ke tempat lain, bagaimana menurut Jeje dengan (bentuk) pembatasan menyampaikan pendapat/bersuara?

Jeje: Menurut dosennya, musik gue gak pantes untuk mahasiswanya. Kalau itu guru SMP, gue bisa memahami, nah ini kan mahasiswa yang bisa berpikir mandiri dan menentukan pilihannya sendiri. Pun dosen gak ada hak, mana yang boleh didengar dan mana yang tidak boleh didengar oleh mahasiswanya. Tapi ya udahlah biasa, tiba-tiba (listriknya) mati, terus lampu nyala, keadaan aneh sepersekian detik, ya jadi bingung. Kayak tadi juga tuh, taunya kan gak ada break magrib, tiba-tiba ada break. Tapi ya kalau di (menyebutkan kampus) jadi gak enak, gue tuh ke sini, mereka ngeluarin duit buat bayar gue, kok gue cuma kasih segitu, ya oke lah kalau dosennya gak suka, tapi yang lainnya?

CD: Terus bagaimana respon pendengar saat itu?

Jeje : Ya lucu juga, pas listrik mati terus gue bilang “Oh ini diberhentikan, gak boleh ama dosennya”, “Ooo ini tidak mungkin” lucu, jadi gue gak menganggap itu terlalu serius atau gimana. Jadi lanjut ke kebon singkong, ya orang-orang masih mau, masa gue nolak? Gue main gitar gue seneng, kalau lo bisa ikut seneng juga ya Alhamdulilah, kita bahagia lo bahagia .Tapi perkara kalau ada yang motong pertunjukan, ah yaudahlah, gak terlalu diambil pusing.

CD: Sejak keluarin album jadwal manggung makin padat, gak capek?

Jeje : Biasa aja, capek ya capek bos. Capek fisik wajar, namanya juga orang hidup. Kayaknya yang gak capek cuma Paris Hilton. Tapi kalau gitu seolah-olah gue nggak bersyukur, dulu gue pengennya ngerasain panggung, sekarang dikasih panggung, wah gak bersyukur nih. Itu kayak hambatan-hambatan yang sadar-gak sadar kita buat sendiri. Untuk ngebatasin diri kita, aggh udah ah lawan aja dah. Ya perjalanan itu menyenangkan, ada banyak misteri kan di perjalanan, kita gak tau apa yang kita dapat, atau ketemu ama siapa.

CD : Ada kepikiran buat tur gitu, ala DIY?

Jeje : Pengen, tapi melibatkan banyak pihak ya? Itu keterbatasan gue untuk memanage semua perjalanan, gue rada bego soal itu. Hahaha! Ya mesti ketemu temen-temen yang lebih pinter, mereka bisa merencanakan, kalau gue gak ngerti.

CD : Bagaimana karya yang ideal buat Jeje?

Mungkin banyak orang yang terjabak, dan sibuk dengan perkara estetika, (idealnya) ada pesan yang disampaikan, buat gue, seni bukan perkara keindahan, seni tidak selalu identik dengan keindahan. Kayak musik punk, orang bisa berargumen "apa indahnya? Gendang telinga bisa rusak." Tapi kan bukan itu, ada pesan, pergerakan, suatu nilai yang ingin disampaikan.

CD :Terakhir nih, 5 hal yang tidak diketahui orang-orang tentang Jeje!

Jeje : Gue gak bisa bawa mobil.

Gue takut tikus, mendingan ketemu badak jawa daripada tikus.

Gue jatuh cinta sama mie pangsit, iya itu salah satu puncak kebudayaan manusia. Hahaha.

Gue tidak mempunyai bulu dada seperti Rhoma Irama.

Gue susah tidur sulit bangun dan gue gak pernah baca majalah musik, ya karena kadang-kadang itu buat lu ngebandingin diri lu sama orang lain.

Interview by : Dio

Cover Foto: Asep Syaifullah

welly
More from Creative Disc