Saya (kembali) menjadi fans Justin Bieber

Oleh: verdy - 31 Aug 2015

Sebut saja saya fans karbitan. Belieber abal-abal. Menjadi fans disaat kemunculannya, lalu meninggalkannya ketika terpuruk cercaan dalam kabar miring.  Dan hari ini saya mengumumkan kembali menjadi penggemarnya.

Jika berbicara tentang Justin Bieber secara utuh, maka kita melihat proses akil baligh anak laki-laki menjadi seorang laki-laki dewasa. Dalam fase pancaroba tersebut Justin bertindak sekenanya. Sungguh, tidak ada yang salah untuk ukuran pemuda-usia-tanggung nan hendak memperlihatkan “Gueh, LAKIK!!”. Tapi jika kamu adalah sensasi bintang pop, maka tindak tandukmu adalah lahapan empuk media populer, nak.

Lantas ketika Justin patah hati dengan Selena, lalu ia menunggu sang penderu hati di depan rumahnya, ini memang tingkah kekanak-kanakan. Tapi apa kamu sadar apa yang pernah kamu lakukan demi pujaan hati saat ia tak lagi mengharapkanmu? Tidak akan jauh berbeda. Cinta membuat manusia melakukan hal-hal bodoh. Hanya sorot kameralah yang membedakan kehidupan remaja Justin Bieber dengan mereka nan sebaya. Memang kita tak akan senekat itu, paling hal-hal bodoh yang kita lakukan adalah memberikan surat cinta melalui temannya dan menitipkan pesan untuk tak menyebutkan surat itu dari kita. (Kamu percaya?)

Tapi ia Justin Bieber, gemerlap kehidupan tak henti mengitari. Ia tak pernah kekurangan. Godaan syaiton pun tak bisa ia hindari. Ia manusia biasa. Bukan malaikat. Jangan pula berpendapat bahwa apa yang terjadi selama masa baper Justin setelah putus dengan Selena adalah akibat salah pergaulan. Tidak ada hubungannya. Hatinya patah. Luruh berkeping-keping. Ia sedang mencari cara memperbaikinya, tentu dengan latar belakang budaya barat nan bebas itu. Jadi tak usah berharap “Seandainya Justin bergaul dengan orang yang tepat..”. Jadi kamu maunya Justin berteman dengan Ustad Yusuf Mansur? Lantas ia membuat album nasyid gitu?

Maka selama fase labil diatas saya memilih mundur menjadi belieber. Meski saya bukan garis keras yang cuma suka warna ungu. Tapi sesekali saya sempatkan hadir dalam berbagai gathering yang dikelola @JustinBieberID (Halo, Ribka :) ). Alasan saya cuma satu, kehebohan berita ala-ala silet tentang Justin tidak berbanding lurus dengan beberapa rilisan albumnya setelah debut “My World” yang dikemas dalam 3 versi tersebut (My World, My World 2.0, My World Acoustic). Justin gamang. Justin galau. Idealnya seorang seniman akan semakin mumpuni pada fase-fase galau-nya. Tapi Justin tidak seperti itu menurut saya.  Karyanya terasa begitu kering. Satu-satunya lirih terakhir yang tulus dari seorang Justin Bieber saya dengarkan pada single “Pray”.

Dalam masa-masa penuh tekanan kala itu. Justin memilih berlindung dibalik dentuman beat keras dengan tipe suaranya yang memang lembut. Selembut kapas. Lalu harapan muncul kala ia berucap akan berkolaborasi dengan “bintang sebaya” Cody Simpson. Sempat mengeluarkan sebuah single, duo ini memilih untuk fokus pada karir solo masing-masing. Saya kembali mengurungkan harap kebahagiaan.

Lalu Justin bergaul dengan abang-abang DJ seperti Diplo, Skrillex, setelah sukses membantu Far East Movement. Saya sendiri takut. Saya tak akan pernah lagi menjadi penggemarnya. Karna saya tahu, deru musik lantai dansa produksi abang DJ Skrillex, hanya akan menyembunyikan vokal Justin yang saya rindukan dalam balutan musik kejut-kejet dubsteb.

Itu adalah asumsi awal. Hasilnya ternyata berbeda. Single “Where Are You Now” karya Skrillex dan Diplo dalam album konsep Jack U memberikan ruang untuk vokal Justin. Tapi tetap saja, saya butuh rilisan barumu, Ntin.

https://www.youtube.com/embed/NywWB67Z7zQ

Hal itu terjawab sudah pada 28 Agustus lalu. Justin Bieber kembali! Single berjudul “What Do You Mean?” dirilis sebagaimana manajemen Justin yang selalu mempersiapkan segala gimmick menjelang hari-H. Sempat saya melihat riuh linimasa saat itu. Hingga akhirnya saya mendengarkan sendiri alunan lembut pembuka “What Do You Mean?”

Apa yang selama ini saya rindukan telah kembali. Dalam balutan deephouse yang kekinian. Suara Justin berdampingan serasi. Suara detik jam sepanjang lagu semakin menghipnotis kala Justin berucap lirih “you’re overprotective when i’m leaving”. Skrillex kembali bertindak sebagai produser. Dari kerjasama sebelumnya Skrillex seperti menemukan celah seksi Justin yang selama ini teralih dengan pose model celana dalam nan menghebohkan itu. Makasih abang, Skrillex.

Saya tak berhenti memutar lagu ini sepanjang hari. Saya bahkan seolah-olah merasakan sendiri saat Justin mengulang-ulang bagian “What do you mean?” dengan perlahan. Karepmu opo? Kira-kira itu yang hendak disampaikan Justin jika ditranslasikan dalam bahasa jawa. Nah, jika akhirnya single ini membuat saya kembali mengagumi pria kelahian 1994 ini. Tentu mari berharap bahwa Justin benar telah menjadi "lakik", kami tak butuh berita-berita miring tentangmu, ntin. Tetaplah dewasa sebagaimana terdengar dalam single ini. Ucap seorang kawan, single ini membuktikan bahwa Justin sudah besar. BESAR. Seorang kawan mengulangi kata terakhir.

Ah, jika kamu masih takut jatuh cinta dan baper. Tenang saja Justin, jodoh itu kata pak ustad, ada di tangan Tuhan. Ku tunggu album barumu 13 November nanti.

Noverdy Putra

CreativeDisc Contributor

@verd_

verdy
More from Creative Disc