Tidak terasa tahun 2017 hanya tinggal hitungan hari. Sepekan lagi kita sudah memasuki tahun baru, era baru dan pastinya sajian musik baru dari para artis kesayangan kita. Tapi, sebelum kita melaju ke depan, mengapa tidak melongok sejenak ke belakang dan melihat barisan album internasional yang sudah dirilis selama setahun terakhir.
Banyak nama kenamaan yang sudah merilis album mutakhir mereka tahun ini; Ed Sheeran, Lana Del Rey, Miley Cyrus, Kelly Clarkson dan bahkan yang sudah cukup ditunggu-tunggu, Taylor Swift. Tahun 2017 juga menandakan debut album solo untuk dua anggota One Direction, Harry Styles dan Niall Horan, yang ternyata mendapat sambutan antusias tidak hanya dari penggemar mereka, namun juga penikmat musik secara umum.
Semakin istimewa, karena tahun 2017 menandakan di mana dua diva pop kita, Anggun dan Agnez Mo, juga merilis album mereka. Terutama Agnez Mo, karena album internasional yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Untuk menandakan akhir tahun 2017, Creative Disc melongok kembali beberapa album yang sudah direview selama setahun terakhir ini. Dan dari barisan album tersebut, inilah 17 Album Terbaik Tahun 2017 Versi Creative Disc:
Yang ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah album internasional dari the one and only Agnes Monica atau yang sekarang lebih beken dengan Agnez Mo. Maka hadirlah "X". “X” pada intinya adalah album yang ritmis, bergelora dan penuh semangat. Mungkin bagi sebagian orang sound yang ditawarkan “X” terdengar tertinggal oleh zaman. Sedang sebagian lagi akan menganggap album adalah sebuah nostalgia atau tribut akan genre yang dipeluk Agnez Mo di karirnya dewasa ini. Tapi apapun itu, “X” adalah sebuah pembuktian yang patut untuk diapresiasi.
“So Good” memang bukan tanpa cacat cela. Hanya saja, patut menjadi catatan jika pop yang ditawarkan Zara di dalamnya tampil dengan mencorong serta menawan. Lagu-lagunya catchy tanpa harus terdengar terlalu bubblegum-pop. Sebagai sosok yang mengaku feminis, Zara mengisi album dengan pesan tentang woman-empowering kuat. Tetap ada lagu-lagu manis dengan lirik romansa ringan, namun pilihan Zara untuk turut meninjeksi album dengan pilihan politiknya adalah nilai tersendiri yang membuat album menjadi lebih berbobot.
Melalui “8”, sekali lagi Anggun menunjukkan mengapa ia bisa bertahan sebagai musisi pop terkemuka masa kini. Selain selera musikalitas yang berkelas dan tidak pasaran, ia juga sangat cermat dalam memanfaatkan vokal primanya dalam lagu-lagu yang dieksekusi secara efektif. Oleh karena itu, meski harus menunggu lama, “8” memang sebuah sajian pemuas rindu yang cukup memuaskan oleh Anggun.
Dengan "Meaning of Life", Kelly Clarkson ingin menyetir albumnya ke arah soul dan R&B tanpa sepenuhnya melupakan arena pop-rock yang menjadi playground-nya selama ini menjadi sebuah keniscayaan. Bisa disimpulkan bahwa album ini bukan hanya karya anti-mainstream dari seorang Kelly Clarkson, tapi lebih kepada titik penting dalam sejarah keartisannya. Dimana dirinya memisahkan definisi antara “show” dan “biz”. Di album ini ia secara utuh telah menyentuh titik aktualisasi diri sebagai musisi, bukan titik komersil seperti dulu. Go high, our true idol! Our faith in you!
Siapa yang tak mengenal Calvin Harris? Sang super-DJ selalu memiliki ide-ide kreatif untuk visi musiknya. Begitu juga dengan album barunya. “Funk Wav Bounces Vol. 1” adalah album yang dibekali dengan kualitas produksi papan atas. Harris kembali mempertegas jika ia bukan hanya seorang DJ, namun juga multi-instrumentalis yang mampu memproduksi lagu-lagunya sendiri, melalui instrumen organis, ketimbang mesin belaka. Dengan embel-embel “Vol. 1”, maka tampaknya Harris tidak akan menghadirkan gaya bermusik lain untuk proyek bermusik mendatangnya.
patut dicermati lagu-lagu yang terdapat dalam “Younger Now” bukanlah lagu-lagu yang begitu saja pas menjadi bagian top 40. Ia adalah jenis album dengan materi yang memang didengar secara utuh sebagai album. Bagi yang sudah terlalu biasa dengan track-track catchy dan easy listening pop masa kini, mungkin saja akan agak susah untuk bisa menyukai “Younger Now”. Sungguh disayangkan jika begitu, karena sebenarnya “Younger Now” adalah sebuah album pop yang memiliki kualitas tidak main-main dan pastinya menunjukkan eksistensi seorang Miley Cyrus sebagai seorang musisi.
Harry Styles dan album solo debutnya memilih untuk meminjam kosa kata musik rock era 70-an atau 80-an sebagai andalan proyek solonya, pun bukan hal yang aneh, karena bagaimanapun selama ini Styles telah membangun persona rocker di beberapa tahun terakhir. Percayalah, mendengarkan “Harry Styles” kita tidak akan seperti mendengar sebuah album milik penyanyi jebolan boyband. Ada sesuatu yang oldskul, oldsoul, atau retro dalam lagu-lagu yang diusung Styles di dalamnya. Mendengarkan “Harry Styles” adalah untuk mengenang era keemasan rock dengan segala kegemilangannya.
“Lust For Life” memang masih berada di ranah sadcore ala Lana Del Rey. Meski begitu, ia juga sebuah album yang lebih kaya dengan athem rock-pop era 50/60-an. Album juga menandakan perpindahan sudut pandang seorang Lana yang biasanya bergulat dengan masalah-masalah pribadi/internal, namun kini secara langsung berbicara pada pendengarnya. Ia tidak terdengar seperti pengulangan “Born To Die”, namun sebuah pengembangan yang secara signifikan juga memiliki perbedaan tersendiri. Sederhananya, bisa dikatakan sebagai versi 2.0. dari “Born To Die”. Dan sebagaimana sebuah versi upgrade, maka ia pun relatif lebih baik.
Di album kelima, “After Laughter“, Paramore secara lebih total hadir dalam kaidah pop. Oleh karenanya, siapkan diri untuk kehilangan sisi garang seorang Hayley Williams, karena ia akan lebih sering terdengar bernyanyi dalam vokal yang lebih playful, santai dan terkadang centil. Satu dekade lalu mungkin tak terbayang jika menyebutkan Paramore akan menghadirkan salah satu album pop terbaik untuk tahun ini. Tapi demikianlah yang terjadi. “Paramore” adalah salah satu album pop terbaik tahun ini.Tidak hanya karena kemampuan dalam mengemas lagu-lagu yang sangat renyah, namun juga penulisan lirik yang bermain-main dengan semiotika dengan cerdas.
“Rainbow” terdengar sebuah pernyataan dan juga perlawanan, terutama dari “kungkungan” kerangka musikalitas yang dibentuk Dr. Luke untuk Kesha di awal karirnya. Kini, meski tetap menghadirkan lagu-lagu yang memiliki melodi gampang dicerna, namun secara atmosfir terdengar lebih emosional, getir dan berapi-api serta dibungkus dengan aransemen yang lebih organis. “Rainbow” menjadi sebuah album yang menunjukkan progresi musikalitas Kesha ke arah yang lebih baik dan matang. Sebuah album pop dengan dimensi dan kedalaman serta tak melupakan akar bermusiknya atau mengkhianati apa yang membuat dirinya terkenal. Salut!
Jika bertanya mengapa Pink masih “betah” bertahan sebagai popstar terkemuka? Simak saja “Beautiful Trauma”. Genre-hopping mampu dieksekusi dengan sangat baik oleh Pink. Mungkin “beautiful Trauma” masih bermain aman. Formula-nya pun masih disajikan Pink mirip dengan album sebelumnya, “Wild Hearts Can’t Be Broken” (2012). Hanya saja sangat sulit untuk bisa mengelak dari pesona pop yang ditawarkan Pink. Terlepas apakah mungkin lagu-lagunya terdengar begitu “mulus” dan terlalu “gampang dicerna”. Tapi, musik, sebagaimana idealnya sebuah karya estetis lainnya, haruslah komunikatif terhadap penikmatnya. Dan “Beautiful Trauma” dipastikan sangat bisa dinikmati pesan maupun musikalitasnya.
“Flicker” bukan album yang ambisius. Niall terdengar bernyanyi tanpa pretensi atau tekanan apapun. Kesan yang didapat, ia hanya ingin menyanyikan lagu-lagu laidback ala pop-folk, country bahkan americana, sebagaimana lagu-lagu klasik yang menjadi kesukannya. Lagu-lagu yang mampu membuat pendengarnya turut bernyanyi dengan suka rela, entah itu dalam lagu sendu atau penuh semangat. “Flicker” adalah awal yang baik bagi seorang Niall Horan. Sebuah album yang memberi janji akan akan sebuah karir cemerlang. Janji akan hadirnya seorang musisi jenial. Bukan penyanyi karbitan atau bentukan industri.
Setelah terjun ke dunia pop secara lebih total dengan “1989”, maka dalam “Reputation“, album keenamnya, Taylor seolah meningkatkan akselerasi dan mempertebal sisi popnya secara lebih tegas. “Reputation” menegaskan jika Taylor semakin piawai dalam bermain dalam konsep dan antisipasi. Layaknya artis-artis pop besar seperti Madonna atau Lady Gaga, Taylor sudah paham kalau metamorfosa adalah kunci dalam dunia pop. Berikutnya adalah track-track bubbly yang catchy. Maka sebuah album memorable pun berada di tangan. Setelahnya, yakinlah dominasi dunia senantiasa berada di genggaman.
Dua Lipa sempat menyebutkan jika Christina Aguilera, Stereophonics, dan Robbie Williams, adalah para musisi yang mempengaruhi dirinya semasa remaja. Imprint para idolanya tersebut bisa ditemukan dalam warna musik Dua Lipa, hanya saja sang penyanyi rupanya berkembang dengan cukup baik hingga bisa menemukan musikalitasnya sendiri. Satu yang menarik, dan juga kekuatan lain dari Dua Lipa adalah ia mampu menulis lagu-lagunya sendiri. Meski secara tone agak belepotan, “Dua Lipa” adalah album pop yang menyenangkan untuk didengar.
Setelah sempat vakum, Sam Smith merilis album sophomore-nya yang bertajuk “The Thrill Of It All“. Muncul pertanyaan, apakah secara kualitas album lebih baik pendahulunya? Jawaban singkat, ya. Sangat! Jika "In the Lonely Hour" adalah album curahan patah hati, maka Sam Smith menyebutkan "The Thrill of It All" sebagai album yang menyampaikan sosoknya saat ini sebagai seorang pria (gay). Meski demikian tidak usah takut jika album terdengar tersegmentasi untuk pangsa pendengar tertentu, karena bahasa musik yang dibawakan oleh "The Thrill of It All" bisa dinikmati siapa saja tanpa batasan sosial tertentu.
“Melodrama” digambarkan Lorde sebagai sebuah album berkonsep; sebuah pesta yang tak terkontrol dan di mana keseluruhan “kisah” yang terdapat dalam setiap track terjadi di pesta tersebut. Dan sebagaimana pesta, ada keriaan, ada kemabukan, dan kadang penyesalan sesudahnya. Melalui konsep ini Lorde dengan cerdas menggambarkan kronika tentang hubungan bahkan eksistensialisme. Mendengarkan "Melodrama" adalah seperti mendengarkan barisan lagu pop terbaik tahun ini, selain menjadi catatan jika skena musik pop masih memiliki berlian setajam dan sebrilian Lorde.
Jika di album pertama adalah tentang penambahan, kedua tentang pengalian, maka album ketiga adalah pembagian. Mungkin demikian filosofi sederhananya. Berbicara tentang bagi-bagi, maka “÷” terasa cukup representatif, karena di dalamnya Sheeran seperti membagi enerjinya dalam berbagai corak musik. menjadi catatan jika setiap lagu dalam “÷” terdengar lebih matang dibandingkan lagu-lagu yang terdapat dalam dua album Sheeran sebelumnya. Setiap track dalam “÷” terdengar solid. Selain mampu berdiri sendiri juga saling menunjang antara satu track dengan track yang lainnya sehingga “÷” pun menjadi sebuah album yang utuh. Kesan filler, yang masih menghinggapi dua album Sheeran sebelumnya, nyaris tidak ditemui di sini. Ini seharusnya bisa menjadi catatan lebih baik untuk album “÷” atau musikalitas Sheeran itu sendiri.