Konser Epik Ed Sheeran dengan Opening ONE OK ROCK di Singapura

Oleh: wisnu - 01 May 2019

Lushington Entertainment Singapore dengan sukses memboyong sang megastar muda Ed Sheeran ke Singapura dalam rangkaian tour-nya yang bertajuk “Divide World Tour 2019”.

Sejujurnya ketika saya dikabari untuk me-review konser ini, hal pertama yang terpikir, saya amat penasaran dengan apa yang membuat musisi Inggris muda yang akhir-akhir ini begitu fenomenal di dunia musik, selain sederet Grammy dan awards lainnya sebagai penulis lagu jenius, performer, produser dan lain sebagainya, rasanya saya harus membuktikan sendiri.

Dengan bermodal media pass, saya tiba di National Stadium Singapura, sebuah venue stadion bola yang membuat saya berdecak kagum. Stadion ini dilengkapi kubah yang dapat membuka menutup dan difasilitasi AC, membuat udara panas atau hujan yang biasanya identik dengan stadion bola, menjadi sejuk semilir dan terlindung.

Show dibuka dengan penampilan band J-rock, ONE OK ROCK yang notabene sudah mempunyai fans besar. Jeritan fans disana-sini rasanya cukup membuktikan band ini rasanya layak mendapat porsi sendiri untuk show tunggal. Penampilan yang apik baik dari segi musik dan aksi panggung, entertaining dan komunikatif membawakan lagu-lagu beraliran alternative rock, hard-core, bahkan emo seperti bukan lagi hanya terlihat sebagai sekedar tambalan opening-act. Beruntunglah rasanya saya malam itu, seperti mendapat 2-in-1 concert.

Sekitar 15 menit lewat dari pukul 8 malam, Suasana mendadak redup, seiring dengan jeritan fans yang membahana, large screen di panggung menampilkan live sosok sang megastar tengah berjalan ke arah panggung, berbincang dengan crew sekitar. Tampak santai dengan hanya berkaos oblong hijau muda, konser malam itu dibuka dengan “Castle On The Hill” dari album “Divide” yang memiliki intro kocokan gitar mirip ciri khas U2.

Ada yang unik dari teknik penampilan Ed ini dan membuat saya terpukau. Terutama bagi first-timer seperti saya. Yaitu penggunaan alat atau kit yang bernama “Loop Station”. Metode ini selalu dipakai Ed dalam setiap konsernya. Yaitu metode merekam rhythm gitar yang dimainkan beberapa detik di awal lagu dan memutar / playback secara langsung dan berkesinambungan (loop) saat itu juga. Bukan saja hanya permainan rhythm gitar-nya yang di-loop, malah terkadang backing vocal-nya juga ikut ‘di-layer’ menggunakan alat tersebut melalui sebuah rangkaian/station yang terletak dibawah mic-nya dan dikontrol oleh kakinya. Mirip sebuah guitar pedal.

Sekedar info, tahun 2017 ketika hal tersebut belum lagi booming, netizen ramai memperbincangkan hal tersebut, malah ada sebagian yang ‘menuduh’ Ed menggunakan backing track. Mungkin itu pula yang menyebabkan kamera beberapa kali dirasa perlu menyorot kaki Ed ketika tengah in action mengoperasikan alat tersebut.

Lalu, apakah hal tersebut yang membuatnya fenomenal? Rasanya tidak juga. Loop station hanyalah sebuah perangkat. Lalu jika ditilik dari penampilannya, secara fisik, Ed rasanya bukan sosok seorang superstar berperawakan ganteng dan keren. Malah sering tampil dengan kacamata tebal dan rambut awut-awutannya ala seorang ‘nerd’. Dance? Jangan kata dibanding dengan Justin Bieber atau Bruno Mars. Bisa dibilang tak pernah. Solo gitar dengan teknik tinggi? Yang dimainkan Ed hanya gitar bolong dengan teknik strumming dan plucking yang mudah dipelajari.

Jika hal tersebut diatas yang kalian cari, mungkin tak akan kalian temukan dalam sosok Ed Sheeran. Malahan, konser malam itu terasa ‘sederhana’ untuk ukuran seorang megastar. Bayangkan, diatas panggung sebesar dan dapat dikatakan spektakuler itu, hanya ada Ed Sheeran sebagai one man show. Tanpa band pengiring, tanpa backing vocals satupun. Satu-satunya instrumen hanyalah gitar akustik yang terus berganti hampir di setiap lagu. Untuk beberapa saat saya merasa seperti tengah menonton live music di pub atau di bar.

Membosankan? Tentu saja tidak. Di venue megah tersebut bisa dikatakan amat akrab dan hangat. Ed tak henti-hentinya mencuri hati penonton lewat komunikasi spontan, berceloteh panjang lebar dan bercanda dengan 51.000 penonton didepannya. Entah apakah spontan atau ia hanya mengulang-ulang jokes nya di tiap negara, yang jelas penonton selalu terpancing. “Malam ini saya lihat tidak hanya para penikmat musik saya yang hadir. Saya tau banget banyak para boyfriends yang sebenarnya tak mau disini” katanya sembari ber-ekspresi lucu menekuk muka, merengut. “Kemungkinan mereka sedang membicarakan saya di toilet” lanjutnya. “Man, ngapain ya kita disini? Gue nggak ngefans sih. Lagian ngapain sih dia di Game of Thrones?” Yang langsung disambut riuh tawa penonton.

“Tipe kedua, tipe ‘Super Dad’. Saya suka tipe ini. Tipe ayah teladan yang selalu memastikan anaknya selalu aman dalam konser. Seperti yang ayah saya dulu lakukan. Meskipun dalam hati mungkin mereka menggerutu musik apa ini. Bagusan juga Metallica.” Yang kali ini disambut gemuruh dan tepuk tangan dari barisan laki-laki.

“Siapapun mereka, mereka sudah mengorbankan Jum’at malam mereka untuk berada disini menemani orang-orang yang mereka sayangi. Bangga lah terhadap mereka. Thank you very much!” Tanpa dikomando tepuk tangan pun membahana untuk pidato lucu namun indah ini.

Dari dua jam yang dijadwalkan, baru tiga lagu Ed sudah bermandikan keringat. AC National Stadium seperti tak terasa baginya. Mungkin karena totalitas permainan dan olah vokalnya yang begitu maksimal. Dari awal hingga akhir, saya gagal menemukan ‘foul’ dalam vokalnya. Nada-nada tinggi dalam balutan musiknya yang minimalis terasa konstan sempurna keluar dari urat suaranya. Susunan setlist pun terasa apik dan variatif. Bercampur antara akustik riang, ballad, folk kontemporer kadang dengan sentuhan Irish, membuat penonton kelas festival di bagian belakang menari-menari.

Meski penonton terus mem-backing vocal di seluruh lagu, namun tak dapat dipungkiri, lagu-lagu hitsnya lah yang membuat suasana National Stadium bergetar histeris. “I know I wrote this song for someone else. It was so famous so I have to sing this song tonight”. Ya, “Love Yourself” lagu yang ditulis untuk Justin Bieber dibawakan dengan indahnya.

Interaksi unik dengan penonton kembali dipertunjukkan di lagu “Sing” sebelum encore. Dipancing untuk terus melakukan backing vocal, tanpa sadar dia sudah menghilang dibalik panggung. Hanya suaranya yang terdengar. Penonton yang belakangan baru menyadari ‘ditipu’ bahwa komando hanya berasal dari loop station-nya langsung berteriak-teriak “We want more! We want more!”

Kembali muncul dengan mengenakan jersey tim sepakbola Singapura, intro unik hits anthem-nya “Shape Of You” terdengar. Rasanya tak ada orang yang tak kenal lagu ini. Disambung tanpa henti dengan “You Need Me, I Don’t Need You” yang dibawakan lebih panjang dan nge-rock, cocok lah sebagai pamungkas sebelum akhirnya ia berpamitan.

Tak ada kekecewaan, tak ada kekurangan yang saya rasakan malam itu. Sama halnya tatkala 51.000 penonton keluar dari stadion dalam waktu bersamaan, membuat antrian mengular di pintu masuk stasiun MRT. tak ada gerutu dan makian. Mereka malah sibuk tak habis-habisnya membahas konser yang baru kelar dengan wajah sumringah. Saya pun masih sibuk berkutat dengan pikiran saya; bagaimana mungkin seorang megastar bisa lahir tanpa glamour, tanpa kelebihan fisik, tanpa backing vocals, tanpa dancer, laser ataupun pyrotechnic. Namun hal tersebut terjadi di jaman sekarang ini. Dan seorang anak muda 28 tahun bernama Edward Christopher Sheeran sudah berhasil membuktikan hal tersebut bahwa pada akhirnya kualitas musik itu sendiri tetap berada diatas segalanya. Ah penggemar musik memang sudah tambah kritis.

Setlist:

Castle on the Hill

Eraser

The A Team

Don't / New Man

Dive

Love Yourself

(Justin Bieber cover)

Tenerife Sea

Bloodstream

Lego House / Kiss Me / Give Me Love

Galway Girl

Poor Wayfaring Stranger / I See Fire

One / Photograph

Thinking Out Loud

Perfect

Nancy Mulligan

Sing

Encore:

Shape of You

You Need Me, I Don't Need You

Text: Wisnu H. Yudhanto, w1snu.com

Official photo by: Aloysius Lim & Alvin Ho for Lushington Entertainment Singapore.

wisnu
More from Creative Disc