Setelah hampir satu tahun sejak Hayley Williams memulai karir solonya, semakin terlihat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh frontwoman band pop punk Paramore ini bukanlah sebuah “karir”, melainkan “perhentian sejenak”. Album solo debutnya (‘Petals for Armor’, 2020) merupakan koleksi musik art pop dan alternative rock yang rasa-rasanya terlalu ekstrem untuk dibubuhkan label “self-reinvention”. ‘Petals for Armor’ lebih tampak seperti ajang Hayley Williams untuk memuaskan sisi gelapnya tanpa sedikit pun ambisi untuk menjadi “The Next Bjork”. Ekspresi diri ini pun dilanjutkan dalam LP keduanya yang bertajuk ‘Flowers for Vases / Descansos’. Kali ini, Hayley Williams memutuskan untuk memuaskan sisi rapuhnya.
Nyaris bertolak belakang 180 derajat dari ‘Petals for Armor’, LP kedua Hayley Williams mengusung genre folk dan country folk. Produksi musik dijaga tetap mentah--dalam artian mengutilisasikan instrumen analog sederhana--dan minimalis. Bila ‘Petals for Armor’ masih memuat sensibilitas pop, maka ‘Flowers for Vases / Descansos’ membawa Hayley Williams semakin jauh dari radio dan semakin dalam ke habitat Joni Mitchell, Carole King, dan Alison Krauss. Sejak Hayley Williams pertama kali mendobrak industri musik dunia, dia selalu menyisipkan semacam ‘kisi-kisi’ bahwa vokal sopranonya mengandung versatilitas melampaui pop punk dan emo rock. Singkat kata, bila Hayley Williams serius, ‘Flowers for Vases / Descansos’ bisa saja menjadi pintu untuk karir baru sebagai artis country folk.
Narasi yang diusung ‘Flowers for Vases / Descansos’ lebih kompleks dibandingkan karya-karya Hayley Williams sebelumnya. Album ini mendapati Hayley Williams bercerita--atau mungkin lebih tepatnya, merenungi--tentang kesendirian (“First Thing to Go”, “Asystole”, “Over Those Hills”), ajal (“My Limb”, “Good Grief”), keraguan (“Trigger”), perasaan yang bercampur aduk (“Wait On”), dan kegelapan masa lalu (“Inordinary”). Tanpa Hayley Williams menyatakannya secara eksplisit pun, mudah untuk menyimpulkan bahwa ‘Flowers for Vases / Descansos’ memiliki DNA yang serupa dengan mahakarya era pandemik ‘Folklore’ milik Taylor Swift. Perbedaannya, ketika Taylor Swift bercerita, Hayley Williams memilih untuk berkeluh kesah. Dengan presentasi vokal yang rapuh dan lirik yang blak-blakan, ‘Flowers for Vases / Descansos’ hampir secara literal membeberkan apa yang ada di pikiran seorang Hayley Williams belakangan ini.
Ini yang menjadi dilema: ‘Flowers for Vases / Descansos’ adalah album yang seyogyanya diapresiasi setelah didengar berulang kali. Patut diakui, ‘Flowers for Vases / Descansos’ tidak meninggalkan kesan pertama yang kekal di benak atau di telinga. Vokal Hayley Williams yang lembut dan produksi country folk yang minimalis menjadikan ‘Flowers for Vases / Descansos’ lebih cocok sebagai background music di Starbucks ketimbang sebagai koleksi musik karismatik yang membuat pendengarnya beranjak dari kursi. Terkadang, ketika seorang bintang pop punk memutuskan untuk memperlambat laju mereka, emosi yang tercipta di hati pendengar justru adalah kekecewaan dan bukannya kekaguman. Apalagi, melihat ‘Flowers for Vases / Descansos’ sangat bertolak belakang dari jenis musik yang tipikalnya digarap oleh Hayley Williams, besar kemungkinan fans paling setia sekalipun akan kesulitan menanggapi album ini dengan serius.
‘Flowers for Vases / Descansos’ adalah perhentian sejenak yang manis. Bila digarap dengan lebih ambisius, track singkat seperti “Just A Lover”, “Descansos” dan “HYD” bisa menjadi crossover hit. Akan tetapi, tampaknya album ini hadir lebih untuk melayani uneg-uneg Hayley Williams ketimbang melayani dahaga fans setia dan penggemar musik punk. Dan, patut diakui juga, Hayley Williams paling bersinar ketika dia membakar semangat tiga ribu penggemar di arena konser raksasa.
IN A NUTSHELL:
- ‘Flowers for Vases / Descansos’ menghadirkan momen paling jujur dan rapuh dari seorang Hayley Williams
- Terlepas dari versatilitas Hayley Williams di genre country folkpop u, ‘Flowers for Vases / Descansos’ ironisnya membuktikan bahwa dia paling bersinar di genre pop punk
RECOMMENDED TRACKS:
“My Limb”, “Trigger”, “HYD”
TENTANG PENULIS
Felix Martua adalah penulis, editor, traveler, kurator, dan cataloger bilingual (Bahasa Inggris dan Indonesia) untuk musik, hiburan dan all things pop culture. Felix bisa dihubungi via [email protected]