‘Jangan Sampai Pasrah’ Menobatkan Hanin Dhiya Sebagai “Princess of Broken Hearts”

Oleh: welly - 04 Mar 2021

LP kedua Hanin Dhiya mengeksplorasi melankolia dengan kacamata romansa.

Bila almarhum Didi Kempot adalah “Godfather of Broken Hearts”, maka Hanin Dhiya adalah “Princess of Broken Hearts”. LP kedua Hanin Dhiya--bertajuk ‘Jangan Sampai Pasrah’--resmi mengukuhkan gelar tersebut. Tiga tahun setelah LP pertamanya (‘Cerita Hanin Dhiya’, 2018), Hanin Dhiya berhasil menemukan apa yang menjadi keunggulannya sebagai seorang artis rekaman-- power ballad.

Baik di industri musik Tanah Air maupun industri musik internasional, album yang mengusung konsep tunggal adalah sesuatu yang masih terbilang langka. Untuk itu, setidaknya ‘Jangan Sampai Pasrah’ patut diacungi jempol. Sepanjang 10 lagu dan 38 menit, ‘Jangan Sampai Pasrah’ mengusung satu konsep semata yakni “melankolia”. Konsep ini sering diusung oleh para artis muda Indonesia, terutama artis wanita yang masih baru di industri musik (Agseisa, “Pinjam Peluk”. Sitha Marino, “Melankolia”). Akan tetapi, dibutuhkan penghayatan vokal luar biasa untuk ‘menjual’ konsep populer tersebut di telinga pendengar musik pop. Untuk tantangan yang satu ini, Hanin Dhiya sangatlah berhasil.

‘Jangan Sampai Pasrah’ dibuka dengan lagu berjudul sama. Bila membaca liriknya, lagu ini seharusnya menjadi anthem penyemangat mengenai bagaimana cara bertahan menghadapi ketidakpastian hidup. Akan tetapi, gaya vokal Hanin Dhiya yang mendayu-dayu--yang kemudian diimbangi juga dengan produksi yang dramatis--membuat lagu pembuka ini lebih terdengar seperti “requiem” daripada “anthem”. Selanjutnya, Hanin Dhiya menggali lebih dalam melankolia tersebut dengan rentetan power ballad (“Mengapa Bertahan”, “Terlambat Sudah”, “Biar Waktu Hapus Sedihku”, “Klandestin”) yang diproduksi secara apik. “Mengapa Bertahan”, khususnya, adalah balada terbaik yang pernah direkam Hanin Dhiya sepanjang karirnya berkat kemampuan vokalnya yang terbukti semakin matang.

Pujian juga patut diberikan kepada produser Aldi Nada Permana, Joy Deb, dan Dimas Wibisana yang memahami betul bagaimana cara menyeimbangkan vokal Hanin Dhiya yang lembut dengan produksi power ballad yang cenderung mengarah ke pop rock. Ibaratnya, bayangkan Siti Nurhaliza muda menyanyikan balada Mr. Big.

Hanin Dhiya menyuguhkan sedikit ruang untuk bernapas di track nomor lima (“Suatu Saat Nanti”) dan nomor enam (“Benar Cinta”). Meskipun narasi kedua lagu tersebut masih bercerita tentang “melankolia”, kali ini produksi lagu disajikan dengan sedikit lebih sederhana. Terlepas dari genre pop yang kental, album ini masih menyisipkan secuil petualangan ke genre berbeda. Track nomor tujuh (“Waktunya Sendiri”) membawa Hanin Dhiya mencicipi genre soft rock. Lagu penutup album (“Don’t Wait For Me”) mengisyaratkan potensi Hanin Dhiya di genre R&B.

‘Jangan Sampai Pasrah’ adalah album yang berhasil merefleksikan jati diri Hanin Dhiya sebagai seorang artis. Rasa-rasanya konsep tunggal seperti ini akan ditiru oleh para artis muda lainnya yang terinspirasi dengan karya-karya Hanin Dhiya yang komersil namun tetap berintegritas. Kabar kurang baiknya, bila didengarkan sebagai sebuah katalog musik, maka ‘Jangan Sampai Pasrah’ adalah petualangan musik yang mudah ditebak dan terbilang melelahkan. Ya, power ballad adalah subgenre musik yang selalu menuai demand raksasa di ranah musik pop. Namun, mendengarkan sepuluh balada secara berturut-turut tidak hanya mengoyak hati, tetapi juga menguji kesabaran. Pada akhirnya, tidak ada yang mengatakan bahwa “melankolia” wajib diekspresikan dengan power ballad semata.

Setelah dua kali merilis LP yang kental akan power ballad, semoga untuk karya selanjutnya mood Hanin Dhiya cukup ceria untuk mencoba sesuatu yang lebih riang.

IN A NUTSHELL:

+ ‘Jangan Sampai Pasrah’ adalah album pop yang memanfaatkan secara total kelebihan Hanin Dhiya dalam subgenre power ballad. Penggemar setia dijamin akan menyukai album ini.

- Ketiadaan keseimbangan dan dominasi power ballad menjadikan album mudah ditebak dan terbilang melelahkan.

RECOMMENDED TRACKS:

“Mengapa Bertahan”, “Waktunya Sendiri”, “Don’t Wait For Me”

ABOUT THE WRITER

Felix Martua is a writer, editor, traveler, curator, and cataloger for music, entertainment, and all things pop culture. He can be reached at martuafelix00@gmail.com

welly
More from Creative Disc