Noah Cyrus Menyulap Kegagalan Masa Lalu Menjadi ‘The End of Everything’

Oleh: welly - 25 Mar 2021

EP terbaru Noah Cyrus menjadi titik balik yang krusial untuk karir yang lebih matang

Di antara para artis angkatan milenial dan Gen Z, rasa-rasanya tidak ada yang paling memahami pahitnya kegagalan layaknya Noah Cyrus. Baru menginjak usia 21 tahun, putri bungsu Billy Ray Cyrus ini telah mencicipi bagaimana rasanya gagal mempertahankan momentum pasca single debut yang menjanjikan (yakni kolaborasi bersama Labrinth bertajuk “Make Me (Cry”), dirilis lima tahun silam), gagal menemukan genre musik yang pas, gagal merilis LP, gagal membangun imej, dan ketika tahun 2020 seharusnya menjadi tahun comeback seorang Noah Cyrus, pandemik global meluluhlantahkan segalanya.

‘The End of Everything’ adalah judul yang layak untuk mendeskripsikan keseluruhan EP yang terdiri dari 8 track ini. Sama sekali tidak ada lagu feel-good atau party jam atau bahkan sekedar R&B bop dari awal hingga akhir cerita. Seolah-olah muak dengan kegelapan di dalam hatinya, Noah Cyrus memutuskan untuk memuntahkan seluruh keputusasaan tanpa menghiraukan “self-pride” atau bahkan “self-control”. Patut diakui, formula seperti ini sudah sering dipraktikkan oleh artis sejawat seperti Tate McRae dan Bea Miller. Akan tetapi, faktor yang menjadikan formula ini terkesan berbeda adalah ketika Noah Cyrus bicara mengenai pergumulan, para pendengar musiknya bisa mengetahui bahwa terdapat bobot nyata di baliknya. Berbeda dengan rekan sejawatnya, Noah Cyrus sama sekali tidak membahas konsep generik seperti “quarter-life crisis” atau “generational trauma”. Noah Cyrus sudah mengalami sendiri betapa pahitnya ketika kerja keras dibayar air tuba, dan ‘The End of Everything’ adalah kesaksiannya.

Noah Cyrus berterus terang mengenai keterpurukan komersial yang dialaminya pasca debut manis lima tahun silam (“Lonely”) berikut kekesalannya dengan “support system” yang tidak memberikan “support” yang dia butuhkan (“Young & Sad”). Noah Cyrus juga tidak malu untuk mengakui bahwa dalam kehidupan pribadinya, dia merasa dia telah berubah menjadi karakter yang buruk akibat cobaan bertubi-tubi (“Liar”) dan dia merindukan--sekaligus sering menyiksa diri dengan--nostalgia masa kecil yang indah (“Ghost”). Tentu saja, Noah Cyrus tetap realistis dan mengakui bahwa terkadang solusi terbaik adalah melarikan diri (“July”) dan memutus hubungan dengan masa lalu dengan tangannya sendiri (“The End of Everthing”). Cukup membuat depresi, betul? ‘The End of Everything’ adalah album yang dark, namun, terserah bersedia mengakui atau tidak, sangat relatable.

Yang menarik di sini adalah, untuk pertama kalinya, Noah Cyrus menemukan jati dirinya sebagai seorang artis. Patut diakui, alangkah idealnya jika kegagalan profesional dan pergumulan mental tidak menjadi pendorong utama seorang artis untuk mengeluarkan potensi maksimalnya. Akan tetapi, for better or worse, EP yang satu ini berhasil mengeluarkan potensi maksimal seorang Noah Cyrus. Salah satu penyebab utama kegagalan masa lalu Noah Cyrus adalah dia kerap kali mencontoh cetak biru yang salah. Daripada cetak biru Lorde, Noah Cyrus terbukti lebih cocok mencontoh cetak biru Lana Del Rey (“I Got So High That I Saw Jesus”). Daripada mencontek sang kakak Miley Cyrus, Noah Cyrus terbukti lebih cocok mencontek estetika unik Kacey Musgraves (“July”, “Wonder Years”).

Noah Cyrus bukannya tidak sanggup bersaing; dia hanya belum menemukan koridor musik yang paling pas. ‘The End of Everything’ adalah EP yang brutal, rapuh, dan diproduksi dengan kemasan country folk dan yacht rock yang sangat kohesif. Pada akhirnya, nominasi Best New Artist untuk Noah Cyrus dalam ajang Grammy Awards tahun ini tidak terlalu mengejutkan. ‘The End of Everything’ mungkin bukan album yang sanggup menuai kesuksesan komersial (apalagi di kala pandemik), namun album ini jelas merupakan karya yang paling dibutuhkan oleh Noah Cyrus untuk merancang masa depan yang lebih cerah.

IN A NUTSHELL:

+ ‘The End of Everything’ mempertemukan bakat alami Noah Cyrus dengan koridor musik yang paling cocok: genre country folk dengan lirik kontemplatif disertai tambahan bumbu yacht rock

- Konsep album yang dark mungkin tidak sesuai dengan selera kebanyakan pendengar musik, terlebih mempertimbangkan kondisi pandemik yang masih berlarut-larut

RECOMMENDED TRACKS:

“I Got So High That I Saw Jesus”, “Young & Sad”, “July”

TENTANG PENULIS

Felix Martua adalah penulis, editor, traveler, kurator, dan cataloger bilingual (Bahasa Inggris dan Indonesia) untuk musik, hiburan dan all things pop culture. Felix bisa dihubungi via martuafelix00@gmail.com

welly
More from Creative Disc