Album "30" Adalah Pendewasaan Adele Setelah Terluka

Oleh: luthfi - 22 Nov 2021

Kalau dipikir-pikir Adele sebenarnya tidak butuh mengeluarkan materi baru, karena Adele mampu menjual lebih dari 100 juta album di era dimana menjual album menjadi sebuah hal yang sangat sulit. Ia tidak hanya berhasil menjadi pahlawan orang-orang yang sakit hati tetapi juga menjadi pahlawan bagi industri musik dunia karena berkat album “21” dan “25” penjualan musik global menjadi jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Ia bisa berhenti dari musik kapanpun dan menikmati royalti dari karyanya.

Tetapi perceraian dia dengan suaminya, Simon Konecki yang ia pacari dan nikahi selama delapan tahun membuat Adele merasakan luka yang sesungguhnya dalam sebuah hubungan serius dimana ada seorang anak yang ikut terseret dalam perceraian ini. Akibat kejadian besar ini akhirnya Adele memilih untuk membuat sebuah album lagi yang didedikasikan kepada kisah perceraiannya sambil mencoba untuk membuka lembaran baru, memperbaiki hidupnya secara pelan tapi pasti, belajar hidup lebih sehat, dan mencoba mencari arti pendewasaan dalam sebuah kejadian yang sangat pahit.

Album keempat Adele yang berjudul “30” disusun layaknya sebuah album konsep seperti layaknya album jaman dulu yang mempunyai satu tema besar di setiap lagunya. Walaupun ia tidak pernah mengatakan album ini akan menjadi album konsep tetapi secara tidak sengaja ia membuat hal itu. “30” bercerita tentang cerita hidupnya yang hancur parah sampai di titik ia berpikir “oh, ya sudah memang begini adanya” dengan bantuan suasana musik yang ada di album ini banyak mengambil sound jazz dan soul era 40’an – 60’an.

Petualangan Adele menemukan dirinya sendiri (lagi) dimulai dari “Strangers By Nature” dimana lagu ini dimulai dengan kalimat yang gelap dan depresif yaitu “I'll be taking flowers to the cemetery of my heart” dan ditutup dengan optimisme lewat kalimat “Alright then, I’m ready”. Naik turunnya mood lagu ini dibawakan dengan sempurna lewat bantuan organ, musik soul 50’an serta nuansa musik yang mengambil sedikit esensi psychedelic 70’an dan dilanjutkan dalam “Easy On Me” yang seolah menjadi persiapan bahwa album ini akan membawa pendengarnya ke sisi personal Adele.

Unsur jazz dan soul yang lebih tradisional terus memberi jiwa kepada lirik-lirik yang penuh dengan evaluasi terhadap kejadian yang menimpa batinnya seperti berdamai dengan diri sendiri lewat “I Drink Wine” (“so I hope I learn to get over myself/stop tryin' to be somebody else/so we can love each other for free”), berpasrah diri terhadap musibah yang menimpa dalam “Hold On” (“Just hold on/let time be patient/you are still strong/let pain be gracious/just hold on/hold on”) dimana ia juga menyisipkan nuansa baroque pop, serta mengakui bahwa permainan cinta memang sakit tetapi itu adalah sebuah resiko ketika berkomitmen dengan seseorang untuk berbagi rasa sakit tersebut di “Love Is A Game” dengan musik soul dan jazz yang megah namun tidak mewah seolah Adele ingin berbicara apa adanya dengan pendengarnya.

Ngomong-ngomong soal “berbicara apa adanya dengan pendengarnya” ada dua lagu yang sangat melambangkan hal ini. Pertama di “My Little Love” dimana ia berbicara tentang beratnya menahan beban perasaan menjadi seorang ibu tunggal yang mengurus anaknya dengan musik yang benar-benar ditata konsepnya mulai dari bagian backing vocal di chorus yang menjadi sebuah do’a Adele untuk terus menjadi kuat sampai di bagian akhir lagu dimana ia benar-benar sangat stress dan tidak kuat dengan keadaan yang menimpanya begitu cepat sampai ia menangis dan meraung-raung lewat rekaman suara.

Kedua di “To Be Loved” dimana Adele menyanyi dengan sangat apa adanya tentang pengorbanan dalam sebuah hubungan. Lagu ini benar-benar sangat emosional dan fenomenal dalam diskografinya Adele karena baru kali ini ia terdengar sangat mentah dan tanpa polesan apapun. Hal ini bisa didengarkan lewat headphone dimana dengan teknik yang ia miliki dan tim produksi yang mampu menangkap suasana liriknya membuat ia seolah-olah bernyanyi benar-benar di depan pendengarnya sampai ia berteriak sebelum lagu ditutup.

Adele mencoba wilayah baru dalam musiknya yang bisa menjadi sangat segar seperti “Cry Your Heart Out” dimana ia mencampurkan blue eyed soul dengan petikan gitar reggae di dalamnya. “Oh My God” yang terinspirasi dari beat EDM bahkan beberapa bagian lagu ini mirip dengan “Lean On” milik Major Lazer. “Can I Get It” yang merubah Adele menjadi penyanyi folk lengkap dengan sengatan dan siulan musik country. “Woman Like Me” bernuansa akustik dan dibantu dengan nuansa bossa nova yang sepertinya akan menjadi lagu template tempat minum kopi berikutnya. Pada lagu ini juga Adele tiba-tiba menjadi pribadi yang sarkas tetapi dibawakan dengan elegan lewat lirik (“Consistency is the gift to give for free and it is key to ever keep a woman like me"), membaca liriknya saja seolah kembali ke pertengahan 2000an dimana banyak solois perempuan asal Inggris seperti Lily Allen, Amy Winehouse, Kate Nash menyajikan lirik yang serupa. Ada satu lagu yang seolah tidak pas di album ini yaitu di “All Night Parking” yang terdengar aneh karena mencampurkan beat trap di antara musik jazz tradisional.

“30” merupakan album paling personal, paling pribadi, dan paling jujur dari semua albumnya. Adele benar-benar tidak ingin ada topeng yang menutupi perasaannya seperti album sebelumnya dan membuat album ini menjadi album yang paling apa adanya dari segi emosi. Pengemasan album ini juga benar-benar rapi dan terkonsep seperti layaknya menonton sebuah film drama romansa tentang perceraian sebuah hubungan walaupun ada beberapa lagu yang terdengar seperti sebuah adegan filler di film.

Adele berkata bahwa ia harus merilis album ini atau tidak sama sekali karena memang di album ini Adele benar-benar ingin melepas semua perasaan gundah gulananya selama beberapa tahun terakhir. “30” menjadi semacam sebuah terapi penyembuhan batin buatnya dengan memainkan kembali musik yang membuatnya akhirnya memilih sebagai penyanyi seperti Ella Fitzgerald, Etta James, Billie Holiday, Dusty Springfield yang semuanya mengakar ke musik soul tradisional yang mementingkan ledakan vokal emosional. Pada akhirnya, Adele ternyata memang hanyalah manusia biasa yang mempunyai masalah percintaan layaknya orang kebanyakan dengan solusi yang juga dirasakan orang kebanyakan terlepas dari status mega bintangnya dan “30” merupakan representasi dari sosok Adele sebagai manusia biasa.

luthfi
More from Creative Disc