Sebuah Pengalaman Ethereal Bersama Sigur Rós

Oleh: wisnu - 31 Aug 2022

Ketika sebuah gelaran konser besar lebih menjadi penanda berakhirnya kekhawatiran akan pandemi, hal inilah yang terjadi di Singapura pada Rabu malam, 17 Agustus 2022, bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia.

Setelah dua tahun haus akan sebuah konser musik, Singapura, digawangi oleh promoter musik ternama, LAMC Productions, akhirnya sukses menuntaskan absen panjangnya sekaligus memuaskan dahaga para penikmat konser dengan mendatangkan band post-rock ikonik Islandia dengan aksi live-nya yang dianggap salah satu paling unik sedunia; Sigur Rós.

Konser ini merupakan pagelaran ketiga kali bagi Sigur Rós di Singapura. Setelah menuntaskan beberapa kunjungan di Australia, Singapura menjadi negara tujuan sebelum mereka berangkat ke Korea Selatan (yang pada akhirnya di-cancel) dalam rangkaian World Tour 2022 mereka.

Nama Sigur Rós memang tak se-mainstream band-band rock yang pernah datang ke Singapura lainnya. Personil Sigur Ros juga bukan merupakan sosok rock superstar seperti Axl Rose, Bono, Mick Jagger, atau siapapun itu. Namun tidak dapat dipungkiri, dari sold-outnya tiket dan jumlah pengunjung yang berdesakan di The Star Theatre, Star Vista malam itu menunjukkan bahwa band ini memiliki fanbase tersendiri. Beberapa penonton yang hadir juga terdengar asik membahas dalam Bahasa Indonesia.

Namun, jika kamu seperti saya, yang belum pernah mendengar lagu atau terlebih lagi datang ke konser Sigur Rós, bersiaplah untuk menemukan pengalaman unik yang out of this world. Saya bahkan sulit untuk melukiskan apa aliran atau genre band ini. Sebuah band yang menciptakan keunikan yang hampir tak terlukiskan. Sebagian klasik, sebagian rock, melankolis, misterius, dibungkus dalam sebuah aksi visual panggung bernuansa mistikal & hipnotikal yang luar biasa.

Dan kalau kamu merasa pernah mendengar musik mereka, nggak heran. Musik mereka kerap kali dipakai untuk soundtrack dan scoring film-film. Diantaranya; Penelope, Vanilla Sky, The Girl in the Café dan We Bought a Zoo, serial TV Skins, CSI: Miami, Game of Thrones, The Vampire Diaries, 24 dan 24/7, dan banyak lagi trailer-trailer film.

Selama dua jam lebih dengan jeda singkat, Sigur Rós memamerkan kemampuan unik mereka melintasi lanskap musik yang ber-atmosfer sepi, dingin, misterius namun menakjubkan seperti negara asal mereka, Islandia.

Tarikan emosional dari live band ini memang sulit untuk disangkal. Jika biasanya fans memiliki keterikatan dengan sebuah band lebih karena liriknya yang mewakili, skill permainan instrumen-nya yang dipuja, dan membuat sebuah lagu menjadi ‘sing-along’, namun Sigur Rós justru sebaliknya. Faktor daya hipnotis setiap lagu yang seperti sebuah journey membawa penonton ke alam lain. Setiap lagu terasa seperti memiliki jiwa dan emosinya sendiri-sendiri, belum lagi grafis latar belakang panggung dan tata lampu kolosal yang berubah di setiap lagu. Lirik mereka pun kebanyakan dinyanyikan dalam Hopelandic (istilah mereka sendiri untuk dialek yang minim atau tanpa arti literal). Faktor itulah yang menjadi elemen penting sekaligus daya tarik yang menyeret penonton dalam buaian syahdu dalam setiap konser mereka.

Diselimuti dalam cahaya redup, emo dan syahdu yang menghipnotis dari panggung, kadang diselingi dengan kilatan lampu, laser dan hologram yang meledak-ledak, pertunjukan live Sigur Rós terasa seperti sebuah permainan emosi kehidupan. Bahkan tanpa perlu tahu makna lirik dan esensi dari instrumen itu sendiri. Keindahan, ketakutan, kegelapan, cahaya, kegembiraan… Semua campur aduk.

Kadang mereka berkumpul di pojok panggung gelap, seperti dalam sebuah dialog musik antar mereka sendiri tanpa memperdulikan formasi panggung atau bahkan penonton. Kadang Jonsi, sang lead vocal mondar-mandir seperti binatang yang dikurung, memekik keluar dengan gitar cello-nya yang diberi nama The Bird, menghentak keheningan layaknya seorang sinden melantunkan tembang Jawa sakral-nya.

Meskipun irit komunikasi, Jonsi dkk mampu menyuguhkan sebuah pertunjukan yang menakjubkan. Memang tidak penting rasanya untuk basa-basi atau bahkan sebuah joke dalam konser ‘berat’ kali ini. Dirinya hanya sesekali melontarkan sepatah dua patah seperti "thank you" atau "thank you very much".

Sejujurnya, saya disini masih berusaha keras menggambarkan hubungan keterkaitan Sigur Rós dengan fansnya. Agak rumit memang, karena kita diharuskan bersabar dengan musik mereka, meskipun ada vokal, namun vokal itu sendiri seperti bagian dari musiknya.

Bagi saya, ini adalah sebuah momen musikal unik. Setelah dua tahun lebih mengisolasi diri dari keramaian, Duduk di tengah-tengah hall lautan manusia, diselimuti musik ethereal dan pendaran tata cahaya yang menghipnotis, absurd rasanya. Seolah-olah menyihir dan memberi perasaan energi positif yang overwhelmed bahwa everything’s gonna be alright. Lupakan pandemi, bersyukur atas apa yang masih bisa kamu dapatkan.

Takk Sigur Rós! Thanks LAMC Productions! Mudah-mudahan, akan ada kesempatan pengalaman bersama lagi di lain kali.

Text & foto: Wisnu H. Yudhanto, w1snu.com

wisnu
More from Creative Disc