Pengalaman ‘Woodstock 94’ di Konser Green Day F1 Singapore 2022

Oleh: wisnu - 05 Oct 2022
Pengalaman ‘Woodstock 94’ di Konser Green Day F1 Singapore 2022

Tidak banyak atau mungkin hampir tidak ada band fenomenal di era 90an yang bisa bertahan dan masih mampu menyentuh hati pendengar Gen-Z di masa sekarang selain Green Day.

Masih terbayang di ingatan saya ketika ‘Dookie’ dirilis dan ‘Basket Case’ menjadi anthem remaja saat itu. MTV juga masih jor-joran dengan grunge dan alternative-nya, berbarengan dengan Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, dan raksasa-raksasa lainnya yang kini ‘mendem’ dan bahkan mati.

Konsep Billie Joe Armstrong CS yang entah disengaja atau tidak dengan image rebel bad boys ber-fusi dengan anak punk manis ditambah sedikit emo, bagi pendapat saya merupakan formula sukses band ini bisa diterima di generasi sekarang ditengah guyuran hebat K-pop dan EDM.

Tidak jauh berbeda dengan konser yang saya saksikan di tahun 1996 di JCC Jakarta 24 tahu lalu, saya kembali berdiri di tengah-tengah kerumunan ABG dengan dandanan post-punk mereka. Mulai dari kaos hitam dengan grafis band punk, celana gombrang dengan rantai menjuntai, sementara para gadis, hadir manis beraroma wangi dengan pusar ditindik, hingga cowok-cowok kemeja hitam berdasi merah ala Billie Joe serta gerombolan rambut berwarna-warni.

Bedanya kali ini, jika di 1996 lalu venue begitu nyaman diguyur AC, kali ini saya harus menikmati pengalaman ala-ala ‘Woodstock 94’ kecil-kecilan. Yep, setelah diguyur hujan selama 1 jam di hari itu dan juga di hari sebelumnya, arena ‘The Padang Singapore’’ yang merupakan bagian dari event Formula 1 Singapore yang tadinya merupakan padang rumput luas, berubah total menjadi bubur lumpur raksasa. Dan sebagian fans hardcore harus rela berdiri tanpa duduk dibawah guyuran hujan lebat dengan poncho & payung setidaknya 3 jam di front row karena konser baru akan dimulai setelah balapan F1 selesai.

Jangankan untuk duduk, berjalan saja terasa sulit karena kaki akan terbenam dan harus ditarik dalam setiap langkah. Sepatu? Jangan ditanya. Relakan saja. Saya hanya bisa meringis kecut melihat mereka yang panik melihat Air Jordan, Vans, Doc Martens, atau bahkan Dior mereka hancur dimakan lumpur.

Akhirnya, sekitar pukul 11 malam setelah delay satu jam karena hujan, tepat setelah Sergio Perez dengan F1 RedBull-nya menyentuh titik finish, suasana venue mendadak gelap gulita. Teriakan-teriakan tidak sabar memanggil-manggil Green Day berubah menjadi gempita sorak sorai ditingkahi intro ‘Bohemian Rhapsody’ dan ‘Blitzkrieg Bop’. Sebuah akhir dari penantian yang begitu menyiksa. Pegal, dingin, lapar, lumpur, kini pupus tidak terasa lagi. Histeria massa spontan terjadi begitu dihajar ‘American Idiot’ sebagai pembuka. Billie Joe CS mengakhiri penantian konser Singapura yang sebelumnya harus di-cancel karena pandemi di April 2021.

Dengan grafis backdrop animasi bernuansa punk & anime, pyrotechnic menawan, dan attitude panggung teatrikalnya yang khas, Billie Joe, Mike Dirnt and Tré Cool bertubi-tubi tanpa basa-basi panjang menghadirkan setlist ‘killer-no-filler’ mereka.

Dengan suara sengau nya yang agak parau, hits-hits yang kebanyakan dari dua album legendaris mereka 'American Idiot' dan 'Dookie' komplit disuguhkan. 'Boulevard of Broken Dreams', 'When I Come Around', 'Basket Case', ‘21 Guns’, dan banyak lagi dilahap penonton dengan antusias.

Dan yes, konser di awal Oktober ini juga tentunya memainkan 'Wake Me Up When September Ends', lagu yang banyak menjadi meme ketika di bulan September.

Ketakjuban saya malam itu semakin valid. Front row yang diisi sebagian besar anak-anak muda kuliahan atau junior college familiar dengan lagu-lagunya. Setiap intro disambut dengan teriakan histeris dilanjut koor dibarengi jingkrakan berpelukan tak henti dan tak lupa ‘Instagram Live’ di satu tangan, satu hal tersebut yang tentu saja membedakan dengan konser Jakarta mereka di 1996. 

Seperti sudah direncanakan sebelumnya. Musik Green Day dipadu dengan lumpur (dan F1), menciptakan ‘madness’ dimalam itu. Sekelompok bule tampak asik menikmati konser dengan kegilaan mereka sendiri. Moshing dan slam dancing ditengah lumpur sambil tertawa-tawa, menciptakan suasana Woodstock 94 kecil-kecilan. Fans-fans lawas terpaksa harus menyingkir ke belakang jika tak ingin terkena cipratan lumpur.

Sebagai perpisahan, Green Day membawakan 'Jesus of Suburbia' dengan versi panjang selama 9 menit, dan ditutup melalui 'Good Riddance (Time Of Your Life)' oleh Armstrong dengan gitar akustik Gibson-nya. Diapit oleh Dirnt dan Cool dan semburan confetti, akhirnya band mengucapkan selamat tinggal pada kami, para manusia lumpur yang telah bertahan berjam-jam hanya untuk melihat primo punk-rock event of our generation.

Musik punk memang hampir selalu menyuarakan kecemasan, kegalauan, kepanikan, ketidak-adilan, bahkan cenderung gelap, mentah dan kasar. Namun Billie Joe menangani subjek tersebut dengan kecerdasannya sendiri. Lagu-lagu Green Day masih menawarkan emosi katarsis, tetapi juga turut menghadirkan suasana happy dan ceria. Lagu-lagunya bahkan terasa lucu, dengan lirik vulgar dan jujur, serta meluncur dengan beat dan chord cepat yang menyenangkan. Hal tersebut yang rasanya mewakili Gen-Z saat ini.

Text & Foto: Wisnu H. Yudhanto, w1snu.com

wisnu