Trio indie rock dan shoegaze asal Jepang Hitsujibungaku melesat begitu cepat ketika single Natal mereka ‘1999’ yang dirilis pada tahun 2018 mendapatkan atensi yang luar biasa di kalangan pecinta musik indie rock global. Kepiawaian mereka mencampurkan sound shoegaze dan noise pop yang berisik dengan sensibilitas vokal pop lembut dari vokalis Moeka Shiotsuka, membuat mereka menjadi band favorit baru di kalangan pecinta musik Jepang dan shoegaze di seluruh dunia.
Setelah sukses di dunia independent, mereka akhirnya memutuskan masuk ke major label Sony Music Japan. Bukannya semakin mengendur karena arahan major label, kualitas musik mereka semakin meningkat dan semakin bereksperimen di setiap karyanya, memadukan kebisingan shoegaze dengan sensitivitas pop. Tengok saja lagu “Aimai de ii yo” yang bernuansa post punk, atau lagu “OOPARTS” yang mencampurkan synthpop, noise pop, dan shoegaze dalam satu lagu.
Mereka juga bisa memberikan sesuatu yang segar ke dalam lagu tema anime yang mereka isi. Seperti, ‘Hikaru Toki’ untuk anime Heike Monogatari yang mengalun lembut di tengah arsiran shoegaze dan reverb yang mendayu, ‘more than words’ untuk anime Jujutsu Kaisen yang dengan sangat cerdas memodifikasi musik pop rock dengan musik alternative rock 90’an yang mengawang, dan ‘Burning’ untuk anime Oshi no Ko yang memasukkan reverb dan noise gitar shoegaze dalam ekstasi tingkat tinggi.
Secara tidak sadar, Hitsujibungaku mampu memberikan hawa baru untuk lagu tema anime dengan musik shoegaze yang mereka bawakan, karena sebelumnya lagu anime pasti lekat dengan musik yang generik, nada yang naik turun tak beraturan, dan susah untuk diikuti oleh telinga awam.
Ada hal menarik ketika kami bertanya kepada mereka di sela penampilan mereka di Jakarta pada acara Lalala Festival kemarin. Mereka mengaku banyak lagu hits mereka diciptakan karena rasa takut akan sesuatu. CreativeDisc berbicara langsung dengan Moeka Shiotsuka (vokal) dan Yurika Kasai (bass) tentang beberapa lagu terbaik mereka serta cerita unik dibaliknya. (Sang drummer Hiroa Fukuda tidak ikut kali ini).
CreativeDisc (CD): Bagaimana Indonesia menurut kalian sejauh ini?
Yurika (Y): Banyak banget gedung tinggi di Jakarta ya, banyak pohon kelapa yang tinggi juga, banyak makanan pedas yang enak-enak juga. Kota ini cantik sekali.
Moeka (M): Aku melihat banyak SOGO di sini. Emang sebanyak itu ya?
CD: Iya, disini SOGO banyak terutama di Jakarta.
M: Aku ngerasanya aneh banget pas lihat SOGO, karena di Jepang juga ada.
CD: Di sini juga banyak AEON Mall.
M: Eh, beneran? Menarik sekali.
CD: Langsung saja kita berbicara tentang lagu-lagu kalian, dimulai dari ‘Burning’. Kenapa kalian memilih untuk memasukkan shoegaze di lagu tema untuk anime ‘Oshi no Ko’?
M: Waktu itu kami sempat bingung juga mau bikin apa buat lagu tema Oshi No Ko musim kedua ini. Karena lagu Oshi No Ko musim pertama sangat populer, kami ingin coba yang lain daripada yang lain untuk musim keduanya. Kami juga terpengaruh oleh sound band shoegaze untuk lagu ini. Nama bandnya apa ya?
Y: Curve
M: Soundman kami Sasaki-san merekomendasikan kami tentang band shoegaze namanya Curve. Kami jadi terinspirasi untuk membuat musik yang seperti itu juga karena kelihatannya keren banget.
CD: Ada hubungannya gak sih antara Oshi no Ko dengan Hitsujibungaku?
M: Pemikiran musisi sama artis mungkin beda, tapi perasaan sebagai seseorang yang berada di dunia hiburan terutama sebagai seorang kreator sangat dekat dengan cerita di Oshi no Ko.
CD: Sebenarnya, ini bukan kali pertama kalian mencampurkan shoegaze dan noise pop ke dalam soundtrack anime. Sebelumnya, kalian menggunakan gaya yang sama di lagu ‘Hikaru Toki’ untuk anime Heike Monogatari. Bisa diceritakan tentang lagu itu.
M: ‘Hikaru Toki’ ini merupakan pertama kalinya Hitsujibungaku berpartisipasi mengisi pembuka lagu tema anime. Dan karena ini lagu pembuka, jadi kami mau semua yang mendengarnya bisa suka dengan lagu ini. Karena itu kami mencoba memasukkan semua sound yang kami pernah buat ke dalam lagunya.
CD: Mari kita sedikit berbicara tentang lagu ‘1999’ yang merupakan lagu pertama kalian yang berhasil sukses di kalangan masyarakat awam. Bisa diceritakan tentang lagu itu?
M: Lagu ini sebenarnya sudah lama banget, dan ini kami tulis waktu kami masih di bangku kuliah. Mungkin di belahan dunia lain juga sama, tapi pada tahun 2000an di Jepang itu ada fenomena dimana komputer dan peralatan elektronik itu akan hilang.
Nggak hanya kami, tapi semua di Jepang khawatir karena berpikir bagaimana perubahan dari tahun 1999 ke 2000, akan ada sesuatu yang terjadi apa nggak. Tapi ada juga yang excited banget sama hari Natal, karena waktu itu sudah di penghujung tahun. Perbedaan dari kedua hal ini sangat menarik buat kami, karena itu kami coba menuliskan itu ke dalam lagu.
CD: Apakah kalian merasa terkejut ketika ‘1999’ populer dan secara tidak sengaja menjadi indie Christmas anthem?
M: Kami terkejut, tapi kami juga merasa ini adalah hasil kerja keras kita setiap tahun merilis lagu dan manggung di berbagai event juga.
CD: Menurutku lagu ‘Aimai de ii yo’ ini seperti menggabungkan sound Hitsujibungaku yang dulu dan sekarang.
M: Ada satu band senior saya di kampus dulu namanya 'In The White. Di karya yang mereka hasilkan, saya suka sekali melodi mereka yang terpengaruh dengan sound celtic dan melodinya naik turun. Kami memang mau banget buat karya dengan melodi yang lebih psychedelic, tapi setelah itu di arrange lagi sama personil lainnya, jadi lebih aransemennya terdengar lebih fresh.
CD: Lalu, siapa yang punya ide untuk membuat beat drum di lagu ini lebih cepat.
M: Wah, drummernya lagi gak ikut sama kita nih. Jadi, kami gak bisa jawab pertanyaan itu.
CD: Salah satu lagu kalian ‘OOPARTS’ merupakan lagu yang sangat unik. Kalian mencampurkan synthpop dengan tema sci-fi, lalu di tengah lagunya berubah menjadi noise pop. Lagu ini mengingatkanku akan karya band Jepang Supercar yang sound-nya sama seperti lagu ini. Bisa diceritakan kenapa lagu ini tercipta.
M: Jadi waktu itu ada pameran tentang masalah lingkungan di Mori Art Museum di Tokyo. Disitu dibilang kalau di masa depan, kita sudah tidak bisa lagi menjadikan bumi sebagai tempat tinggal. Salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran itu adalah karya dengan konsep “pindah ke Mars”. Pas aku melihat itu, aku jadi berpikir kalo hal ini beneran kejadian, ngeri juga ya.
Dan seperti yang tadi dibilang, kita terinspirasi juga sama Supercar, karena dulu juga pernah menjadi band cover Supercar bersama teman band kampus. Karena itu ada beberapa melodi yang terinspirasi dari Supercar.
CD: Aku mengucapkan selamat karena salah satu lagu kalian ‘More Than Words’ untuk Jujutsu Kaisen telah mencapai 100 juta streams di berbagai macam platform dan populer di seluruh dunia. Bisa diceritakan tentang lagu itu?
M: Lagu ini bercerita tentang arc Shibuya Jihen di Jujutsu Kaisen. Kota Shibuya adalah area yang cantik, terutama di malam hari. Karena itu kita pilih sound yang kira kira sesuai dengan situasi Shibuya, kami juga banyak memasukkan sound synth di sini. Shibuya Jihen ini kan seperti perang ya situasinya, banyak yang berperang satu sama lain, dan banyak juga karakter yang tewas. Setelah adanya keadaan yang seperti itu, kami menghadirkan ending yang lebih fresh, kami ingin menghilangkan ingatan yang ada sebelumnya, seperti membaca situasi dari masa depan.
CD: Menurut kalian, bagaimana perkembangan Hitsujibungaku dari dulu sampai sekarang?
M: Hmm, karena pendengar kami juga semakin banyak, semakin banyak lagu kami yang jadi soundtrack dorama, film, dan anime, kami merasa lagu kami juga mengalami perkembangan yang baik dan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Di sisi lain, lagu kami juga masih tetap merepresentasikan ciri khas kami yang sudah ada.
CD: Bisakah kamu memberi pesan kepada pendengarmu di Indonesia?
M: Ini kali pertama kali kami ke Indonesia, kami senang sekali, dan mau tau lebih banyak tentang Indonesia. Kami akan berusaha untuk bisa ke Indonesia lagi. Karena itu tolong dukung Hitsujibungaku terus yaaa!
Simak interview selengkapnya berikut ini:
Japanese script and Indonesia translation by Prita Audriana
Special thanks to Sony Music Indonesia