Album of the Day: Brandon Flowers - The Desired Effect

Oleh: admincd - 29 Jul 2015

Setelah bertahun-tahun, "The Desired Effect" jadi upaya paling berhasil Brandon Flowers mengembalikan sound 80s ke dunia mainstream. Sejak pertama kali menggebrak dunia melalui album perdana The Killers, "Hot Fuss", semua orang tahu betapa obsesifnya Flowers akan image superstar glam yang pernah jadi panduan gaya anak muda seluruh dunia. Lewat The Killers, Flowers bermimpi menjadi Simon LeBon era modern. Dengan make up mencolok dan dandanan extravagant. Semangat ini dibawa Flowers juga dari cara menyanyinya yang anthemik dan liriknya yang penuh hiperbola tentang pelacur, dunia malam dan sakit hati. Hanya saja, di album solo keduanya ini, dibantu produser Ariel Rechtsaid lah obsesinya menemui jodohnya.

Rechtsaid bisa dibilang produser pop paling hot saat ini. Dia berhasil memoles sound vintage menjadi modern. Tangan emasnya menyempurnakan HAIM, membuat Carly Rae Jepsen tidak hanya terjebak jadi pop star generik bahkan menghadirkan album Vampire Weekend paling terpoles. Sound tebal, pilihan instrumen yang ganjil dan kelihainnya menghadirkan momen-momen epik jadi andalannya. Semuanya jelas terdengar pada album "The Desired Effect".

"The Desired Effect" dibuka 'Dreams Come True' yang megah, lengkap dengan string section yang mewah. Mudah melacak jejak The Killers dalam lagu ini. Perbedaan mencolok adalah digantinya gitar dengan piano, tapi tetap bisa terdengar hook yang jadi andalan band asal Las Vegas itu. Lagu favorit di album ini berada di track dua 'Can’t Deny My Love' yang memanfaatkan synthetizer dan kocokan gitar yang tidak dominan.

Momen paling menarik ketika sesekali terdengar sentuhan piano yang mengingatkan pada Europe. Track ketiga, Flowers meraung “Girls, I can change for you” dan disusul dengan efek vocal “I’ll be what you looking for”. Dari awal vokal Flowers dominan dan menjadi pusat lagu ini, dengan iringan musik disko yang monoton mengiringi dan membiarkan vokalnya melakukan eksplorasi. Ketika betotan bass mengisi celah di menit ketiga, lagu ini meningkatkan pace dan makna “I can change” berubah dari saran menjadi ketegasan. Seperti yang akan didengar di lagu-lagu sentuhan kecil lah yang jadi bintang di album ini. Tambahan lagi, Neil Tennant dari Pet Shop Boys mengisi spoken word di lagu ini.

Di track keempat, track terbaik album ini, 'Still Want You', Flowers kerasukan Peter Gabriel dan bernyanyi tentang betapa kacaunya dunia dan betapa dia tetap menginginkan bersama seseorang. Sautan backing vokal melengkapi vokal melodius Flowers. Lagu ini adalah puncak dari album ini, bukan sebuah lagu yang enak untuk berdansa tapi kontemplatif dan sebuah hit single yang tidak biasa. Lagu-lagu macam ini yang membuat Flowers digilai wanita. Sementara di lagu kelima dan keenam, Flowers menurunkan temponya dan menjadi pria romantics dengan image yang sendu. 'Between Me And You' dan 'Lonely Town' adalah dua lagu yang cocok sekali dipasang berurutan.

Di lagu 'Diggin Up The Heart', Flowers menghargai musik asli Amerika dengan musik rockabilly, yang cocok dimainkan di jukebox di bar sempit terpencil di dusun Amerika. Sebuah soundtrack untuk para koboi yang terluka. Satu lagi lagu yang juga pantas jadi single adalah 'Never Get You Right' dimana Rechtsaid memasukkan semua elemen penting dalam sebuah lagu 80’s Pop. Kekayaan instrument yang terdengar berlapis dan saling mengisi, tapi selalu subtil dan tak pernah pretensius. Seperti saat-saat terbaik di album ini, vokal Brandon Flowers yang penting. Dua lagu lainnya di akhir, 'Untangled Love' yang atraktif dan 'The Way It’s Always Been' yang religius menutup sebuah album pop paling mendekati sempurna.

Brandon Flowers dan Ariel Rechtsaid pantas diacungi jempol untuk album yang sophisticated dan nyaman didengar. Sebuah homage ke masa keemasan glitter dan dunia dimana pop bukan musik recehan. Le Magnifique!