U2 The Joshua Tree Tour 2019: Two Nights That We Can’t Leave Behind…

Oleh: wisnu - 10 Dec 2019

Bagi para fans dan saya pribadi sebagai penggemar berat U2 sejak bangku SMA, rasanya sudah mahfum bahwa band rock raksasa tersebut tak akan pernah datang ke belahan Asia Tenggara atau terlebih ke Indonesia. Sebagai seorang frontman sebuah band, Bono memang dikenal sebagai seorang figur politis. Pemikiran dan opini politiknya selalu digaungkan di setiap interviu, lirik-lirik lagunya, malah tak jarang di konser-konsernya. Pandangan politiknya pun menjadi pertimbangan penting dalam memilih kunjungan negara tour nya. Timor-Timur yang saat itu masih berada dalam wilayah NKRI pun tak luput dari ‘serangan’ komentar pedasnya. Tak heran, bagi para penggemar U2, harapan untuk menonton konsernya di negara kita rasanya hopeless dan hanya sebagai sebuah mimpi pada saat itu.

Dan seperti gledek di siang hari bolong rasanya ketika mendengar bahwa U2 akan menggelar konser untuk pertama kalinya di Singapura. Dan terlebih lagi, merupakan konser peringatan anniversary album rock terfavorit dalam hidup saya, ‘Joshua Tree’. Album monumental yang bagaikan ketapel bagi U2 untuk mendunia hingga sampai ke telinga saya.

Konser sold-out U2 The Joshua Tree Tour 2019 di Singapura digelar selama dua hari berturut-turut tanggal 30 November dan 1 Desember 2019 di National Stadium, stadion megah kebanggaan rakyat Singapura. Beruntung saya sempat menjadi bagian dari sejarah dua hari ini.

Menunggu berjam-jam dan mencengkeram posisi front row sejak sore, hingga akhirnya pukul 20:15 waktu setempat, meleset 15 menit dari jadwal, gemuruh lagu ‘Whole Of The Moon’ milik The Water Boys berkumandang dengan gagahnya di suasana gelap gulita diiringi sorak sorai penonton. Satu persatu, dimulai dari Larry Mullen Jr, Adam Clayton, The Edge dan terakhir Bono Vox muncul dari balik panggung menambah gegap gempita penonton dan langsung dihentak oleh ketukan drum Larry dengan ‘Sunday Bloody Sunday’, sebuah lagu yang mengutuk insiden pertumpahan darah oleh tentara Inggris yang pernah tejadi di kampung halaman mereka. Tak pelak, histeria massa pun terjadi.

Disusul berturut-turut dengan ‘I Will Follow’, ‘New Year’s Day’, ‘Bad’ dan ‘In the Name of Love’ konser ini seakan seperti sebuah filem yang terus-terusan membiarkan penontonnya mereguk klimaks meski masih di awal.

Di lagu anthem ‘Where the Streets Have No Name’ keempat anggota U2 berpindah panggung dari set kecil di depan menuju panggung besar utama diiringi kocokan dan sound khas gitar The Edge.

Dan seperti sudah diduga, menyaksikan sebuah konser U2 memang juga harus siap untuk mendengar khotbah gereja atau kampanye seorang aktivis. Hampir di setiap awal lagu, Bono secara spontan menyisipkan ‘pidato singkat’ mengenai pandangan politiknya yang kadang kontroversial di telinga sebagian orang. Perdamaian, anti kekerasan, kesetaraan gender, mengutuk peperangan, toleransi beragama, sampai cinta sesama jenis dan lain-lain. Terlebih lagi, album Joshua Tree memang sarat dengan tema berat.

Wallpaper raksasa panggung lebih sering menampilkan video visual yang mendukung lirik lagu ketimbang menayangkan aksi panggung mereka. Untuk band beranggotakan empat orang, desain panggung yang mengacu pada desain asli tahun 1987 memang dirasa terlalu besar namun terlalu ‘sederhana’ dibanding tour-tour terdahulu mereka seperti Zooropa, atau Pop yang amat spektakuler. Berbagai komentar bernada protes pun bermunculan dari netizen.

Untuk yang rela berdiri dan mengantri berjam-jam untuk mendapatkan spot di depan memang bakal mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Efek visual di lagu ‘I Still Haven't Found What I'm Looking For’ atau ‘Where the Streets Have No Name’ seperti menampilkan efek gerak 3D yang luar biasa indah. Atau di lagu ‘Vertigo’ yang tak ayal membuat panggung seakan berputar 360 derajat. Namun lain halnya dengan yang tidak kuat berdiri dan memilih tiket duduk. Panggung terasa sangat jauh. Dan sulit untuk melihat para anggota band bermain.

“Jauh-jauh, bayar dua juta cuma buat lihat desktop wallpaper. U2 nya sebesar semut doang! Tapi aku tetap cinta U2!” kata Lucky Susanto, salah seorang penonton dari Jakarta menuturkan pengalamannya menonton dari barisan kursi atas.

Secara musikalitas, U2 tak diragukan, mampu menyuguhkan sebuah euforia sekelas mega rock band, mampu mengharu biru stadion dengan ‘monster’ lagu-lagu lawas nostalgia-nya selama dua setengah jam. Meskipun menunggu berpuluh tahun dan melihat Bono ber-transformasi tak lagi semuda dulu, namun Bono masih menjadi magnet kuat malam itu. Masih terlihat sebagai sosok flamboyan dan ber kharisma dengan suara khas-nya yang kadang terdengar mentah meraung ber-energi, kadang sexy, kadang melankolis seperti di ‘Bad’ atau ‘Running to Stand Still’. Meskipun kadang dapat dimaklumi untuk mencapai nada tinggi, mic acapkali disodorkan ke penonton atau dialihkan ke nada rendah. Sementara ketiga anggota lain, The Edge, Adam & Larry bermain secara menakjubkan tanpa cela dan memukau dari awal hingga akhir membuat banyak penonton seakan lupa umur dan berjingkrak layaknya remaja 18 tahun-an mengikuti dentuman bass dan beat drums.

Untuk penonton di ‘kelas nostalgia’ seperti saya, konser memang terasa ‘njomplang’ atau tidak seimbang di bagian encore yang memainkan lagu-lagu dari album baru. Meskipun sebenarnya saya dan tentunya semua penonton untuk berharap dengan lagu-lagu era modern yang lebih iconic dan legendaris yang dimainkan seperti ‘Stay (Faraway, So Close)’, ‘Walk-On’, ‘Staring at the Sun’, atau ‘End of the World’.

Konser ditutup dengan cantik lewat ballad anthem ‘One’ diiringi dengan ribuan lampu dari handphone penonton seperti kunang-kunang ditengah kegelapan stadium membuat suasana semakin magis.

Menyaksikan sebuah band secara live yang di-idolakan sejak puluhan tahun memang lebih terasa emosional. Lebih terasa sebagai pengalaman spritual. Terlebih bagi sebuah band yang telah dinanti 30 tahunan untuk datang ke Asia Tenggara. Rasa dahaga tersebut sirna sudah. Kini hanya rasa aftertaste dan hangover yang terus menggelayut di kepala dari dua malam yang tak dapat dilupakan. A concert that we can’t leave behind…

U2 Joshua Tree Tour 2019 Singapore Setlist:

Sunday Bloody Sunday

I Will Follow

New Year's Day

Bad

Pride (In the Name of Love)

The Joshua Tree:

Where the Streets Have No Name

I Still Haven't Found What I'm Looking For

With or Without You

Bullet the Blue Sky

Running to Stand Still

Red Hill Mining Town

In God's Country

Trip Through Your Wires

One Tree Hill

Exit

Mothers of the Disappeared

Angel of Harlem (diganti ‘Desire’ di hari kedua)

Encore:

Elevation

Vertigo

Even Better Than the Real Thing

Every Breaking Wave (diganti ‘You're the Best Thing About Me’ di hari kedua)

Beautiful Day

Ultraviolet (Light My Way)

Love Is Bigger Than Anything in Its Way (hanya di hari kedua)

One

Text & foto: Wisnu H. Yudhanto, w1snu.com

wisnu
More from Creative Disc