Roy Ricardo Membela "Old-School Rap" Melalui 'Cuma Di Indo'

Oleh: welly - 14 Mar 2021

Kini menginjak usia 32 tahun, rapper asal Jakarta ini merengkuh kesempatan--dan tantangan--lebih besar di blantika musik Tanah Air yang semakin 'muda'

Apakah rapper Indonesia sanggup meraup kesuksesan mainstream? Sayangnya, ini adalah pertanyaan yang masih sulit dijawab bahkan hingga ulasan ini disusun. Terlepas dari kehadiran para rapper Tanah Air seperti Bondan Prakoso & Fade2Black, Tuantigabelas dan A. Nayaka, belum ada sosok yang berhasil menyapu seluruh Nusantara hingga beroleh predikat seorang "superstar". Padahal di era modern ini, genre rap telah mendunia berkat eksistensi para visioner seperti Cardi B (Amerika Serikat), Stormzy (Inggris), Suga (Korea Selatan), dan Awich (Jepang). Apa yang menyebabkan rap rasa lokal masih kesulitan mengikuti cetak sukses para negara tetangga?

Apa yang menjadikan LP terbaru Roy Ricardo cukup istimewa adalah narasi "rap rasa lokal" yang begitu kental. Bertajuk 'Cuma Di Indo', keseluruhan LP terdiri dari 10 track yang rasa-rasanya hanya bisa digarap dan dipresentasikan oleh seorang rapper yang hidup dan bernapas di Indonesia. Ketika kebanyakkan rapper muda Tanah Air lebih menjurus ke karya berbahasa Inggris sembari menyadur budaya rap Barat, penguasaan estetika rap Ray Ricardo sepanjang 10 track tersebut sangatlah orisinil.

Mengenal Ray Ricardo, terang saja 'Cuma Di Indo' sarat akan musik rap yang dibalut dengan produksi hip hop dan trap. Dari segi lirik, kritik dan observasi sosial khas seorang Ray Ricardo mengambil posisi tengah. Keseluruhan LP bercerita tentang kondisi sosial yang lucu namun ironis ("ASI #AsliSusulIndo", "Barang KW", "Cuma Di Indo"), ego masyarakat ("Kami Benci Lawan Arah", "Tukang Kredit", "Luhalu") dan sedikit drama romansa ("Treat You Right", "Anomali"). Ketika Roy Ricardo bercerita tentang kisah hidupnya sendiri ("Menyala"), rapper berusia 32 tahun ini memancarkan karisma dan kepercayaan diri ekstra. Pujian juga patut diberikan kepada para produser, utamanya Lana Leztey dan Sendeljer, yang memahami betul bagaimana cara meracik produksi hip hop dan trap yang mencolok tanpa menyudutkan karakter MC Roy Ricardo.

Bila harus digolongkan, 'Cuma Di Indo' adalah rekaman musik rap yang "old-school". Roy Ricardo memberikan penekanan lebih untuk MC skill dan social critique ala Lauryn Hill ketimbang inovasi dan hiburan ala Suga. Alhasil, 'Cuma Di Indo' bukan rekaman yang bisa dideskripsikan sebagai "fun". Ini sangat disayangkan melihat Roy Ricardo mampu melayangkan humor yang segar ("Menyala") dan sensibilitas pop yang ramah (versi akustik "Anomali", ironisnya, menjadi highlight album karena potensinya sebagai crossover hit). Bagi penggemar musik rap yang terbiasa dengan rap stylings Rayi Putra, Ramengvrl dan Rich Brian, mungkin 'Cuma Di Indo' bukanlah mood-booster yang ideal.

Mengaitkan album ini dengan pertanyaan di awal ulasan: apakah 'Cuma Di Indo' mampu mengangkat derajat musik rap di Indonesia? Sulit untuk dikatakan. Terlepas dari konsistensi Roy Ricardo, 'Cuma Di Indo' mungkin bukanlah sebuah "game-changer" untuk genre musik rap Tanah Air. Namun, satu hal yang pasti, hadirnya album berdurasi panjang bergenre rap di Indonesia merupakan langkah yang sangat penting. Bila single tunggal dan mini-album/EP adalah deklarasi sebuah eksistensi, maka album panjang/LP adalah konfirmasi bahwa sang artis hadir untuk bertahan.

IN A NUTSHELL:

+ 'Cuma Di Indo' menjadi contoh nyaris sempurna untuk musik rap aliran “old-school” yang didukung oleh produksi yang tajam dari Lana Leztey dan Sendeljer

- Presentasi album yang konvensional mungkin kurang menarik bagi kawula muda yang menginginkan musik rap yang lebih futuristik dan sophisticated

RECOMMENDED TRACKS:

"Kami Benci Lawan Arah", "Luhalu", "Anomali" (Akustik)

TENTANG PENULIS

Felix Martua adalah penulis, editor, traveler, kurator, dan cataloger bilingual (Bahasa Inggris dan Indonesia) untuk musik, hiburan dan all things pop culture. Felix bisa dihubungi via martuafelix00@gmail.com

welly
More from Creative Disc