Huru-hara bersama Teenage Death Star

Oleh: welly - 10 Mar 2014

Sabtu, 8 Maret 2014, ditengah senyapnya kehidupan malam di Kota Bandung, promotor 3HUNDRED dan FFWD Records menggelar konser salah satu band indie asal Kota Kembang, Teenage Death Star (TDS), yang berjudul “Act Like A Concert”. Bertempat ditengah-tengah kota, Institut Francais Indonesia (IFI), menjadi saksi bagaimana pengertian tentang “bersenang-senang” di definisikan ulang oleh TDS malam itu.

Berkenalan dengan Teenage Death Star, sesungguhnya personil mereka tidak lagi remaja jika merujuk pada kata “Teenage”, justru seperti sekumpulan bapak-bapak yang siap mengantarkan buah hati mereka ke sekolah. Sementara pada kata “Death”, bukan pula mereka beraliran death metal, mereka memainkan rock minimalis dengan penuh huru-hara dengan sound yang begitu kasar (raw), justru kini kata “Death” itu dapat dicirikan dengan status band ini yang hanya melakukan konser 2x setahun, album mereka yang pertama, “Longway To Nowhere” sendiri baru rilis pada 2008, 6 tahun semenjak kelahiran mereka, hingga label sebagai band mitos seperti tak dapat mereka tolak. Tapi jika merujuk pada kata “Star”, personil TDS adalah bintang bagi para penggemarnya, terbukti dari selalu sold out nya konser yang mereka adakan, termasuk Sabtu lalu, dan tidak dapat dipungkiri secara individual mereka adalah bintang. Sir Dandy Harrington sang vokalis dikenal sebagai seorang seniman dan juga solois yang sedang belajar bermain gitar, selanjutnya Alvin, gitaris, dikenal dengan band Harapan Jaya, lalu bassis Iyo adalah vokalis band Pure Saturday, Firman, penggebuk drum adalah bagian dari keluarga besar Seurieus, sedangkan gitaris, Helvi, adalah pentolan label rekaman. Jadi sesungguhnya nama “Teenage Death Star” memiliki pengertian secara tepat bagi mereka, tentu tanpa mereka rencanakan seperti itu.

Penulis sendiri telah bersiap-siap dengan segala kejutan yang mungkin terjadi malam itu, termasuk dengan memahami materi terbaru mereka yang dirilis dalam format kaset, “The Early Years” yang dirilis tahun lalu. Tapi apa disangka, mereka tak memainkan satu pun dari album tersebut, celotehan Alvin diatas panggung malam itu “Jangan rekues lagu baru ya, udah lupa itu..”.

Dengan set panggung 2 kepala macan masing-masing di sisi kanan dan kiri, serta sebuah kepalan tangan tepat di tengahnya, konser malam itu dibuka oleh penampilan Jeny Be Good, band beraliran rock n roll dengan personil wanita yang gagal tampil “serius”. Dilanjutkan dengan penampilan Zaggle Griff yang justru berhasil tampil serius meski tampak menjadi “canggung”. Dan saat yang dinantikan itu pun datang, TDS bersiap. Penulis sempat grogi, “apakah yang akan terjadi?”, ya ini adalah pengalaman pertama kali menonton Teenage Death Star secara langsung, setelah sekian tahun mendiami kota Bandung, gigs mereka selalu terlewatkan.

Upaya penulis untuk menuangkan sensasi malam itu cukup susah diungkapkan dalam sebuah tulisan. Seketika TDS memulai set mereka malam itu, maka adrenalin akan ikut terpacu, lidah pun ikut kelu, tak mudah untuk menahan diri agar tidak ikut dalam keliaran malam itu. TDS membuka dengan “I Don’t Know What Is Right Anymore”, seketika venue indoor yang dikelilingi penyejuk ruangan itu tak terasa sejuk sama sekali. Berteriak, mosh-pit, meloncat, menari, bahkan menaiki pentas dan mengambil mic sang vokalis dan ikut bernyanyi. Ini lah remaja, darah muda yang bergejolak di sebagian besar penonton, penggemar TDS, benar-benar menggelegak, dan personil TDS pun tidak kalah gila. Alvin yang tampak slebor dengan kemeja pantai dan tubuh tambunnya adalah yang paling liar, Sir Dandy sendiri seperti pemimpin khotbah yang tak henti di interupsi jemaatnya. Iyo sendiri tampak melupakan bekas luka yang ada dikepalanya, dan sering kali memberikan celotehan yang memanaskan suasana. Firman tak mau kalah di belakang set drum, praktis hanya Helvi yang tampak kalem dan menjadikannya personil paling “seksi” ditengah huru-hara di atas panggung sepanjang malam itu.

Penonton tampak tak kehabisan tenaga, saat “I’ve Got Johnny In My Head” membuat penulis harus minggir ke tepi, mengutuki kostum dan perlengkapan yang penulis bawa, sehingga harus menahan diri dari pusaran “huru-hura” di barisan depan venue. Untuk melengkapi keterkejutan malam itu, TDS pun mengajak penonton untuk mengambil alih panggung, dan yang terjadi selanjutnya adalah “epic”, beberapa orang naik ke atas panggung, ada yang mendadak menjadi gitaris, bassis, termasuk tentunya ada banyak vokalis, dan ajaibnya mereka berhasil membawakan lagu TDS secara dadakan. “Absolute Beginner Terrors” menjadi lagu penutup, lagu inipun adalah lagu pertama yang penulis dengar saat pertama kali mengenal TDS dalam sebuah kompilasi “New Generation Calling” tahun 2003. Dan lagu ini adalah penutup yang tepat dalam sebuah pengalaman berharga. Sensasi yang dirasakan malam itu dengan begitu banyak adrenalin yang mengucur, menghadirkan sebuah memori tak terlupakan, hingga mengubah persepsi tentang sebuah band yang sempat dijuluki “band mitos”. Ya, malam itu adalah sekumpulan bapak-bapak bermain musik keras dalam sebuah bernama “Teenage Death Star”, untuk menyenangkan penggemar nan militan, sang buah hati yang beranjak remaja, dan semua pun bersenang-senang, dalam sebuah pengertian yang baru.

Teks by Noverdy Putra

Photo by Mughnizen

Special Thanks to FFWD Records & 3HUNDRD

welly
More from Creative Disc